Thursday, June 7, 2007

Orasi Budaya Sri Sultan Hamengku Buwono X


RUH YOGYAKARTA UNTUK INDONESIA: BERBAKTI BAGI IBU PERTIWI


Kraton Yogyakarta, 7 April 2007


LATAR BELAKANG


BAIT lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman:
“.....bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.....”,
seharusnya dapat menyentuh hati, menginspirasi pikiran dan
menggerakkan tindakan dari segenap anak bangsa untuk bangkit
“Berbakti Bagi Ibu Pertiwi” meraih kejayaaan bangsa.
Kini, di usia menjelang ke-62 tahun, Indonesia sudah menjadi Ibu
Pertiwi yang tua-renta, seakan kehabisan energi dan kehilangan masa
depannya. Indonesia, Ibu Pertiwi kita ini, dihancurkan oleh kepentingankepentingan
yang menjual harga diri kita sebagai bangsa. Entahlah,
mengapa kita menggadaikan negeri ini kembali ke kaum penjajah, yang
sepanjang sejarah sudah kita lawan bersama.
Sekarang ini, Ibu Pertiwi sedang tertatih-tatih sambil menangis di
tengah pertarungan global yang ketat dan keras. Kondisi ini terjadi, akibat
penderitaan beruntun yang menghantam wajah Negeri ber-Sang Saka
Merah-Putih ini. Memang, hidup penuh air mata seringkali menjadikan
kita kebal, mungkin karena hilang harapan atau bahkan tidak peduli,
sepertinya tidak ada yang perlu dipertaruhkan lagi.
Kini Ibu Pertiwi termenung sendiri, merana, menangis dan berdoa.
Bukan saja karena melihat anak-anaknya sedang bertikai tiada henti.
Tetapi, ia juga sedang mengandung bayi reformasi, yang belum juga
kunjung lahir dari rahimnya. Kita berdoa, semoga itu anak terakhir, dan
menjadi Parikesit dalam menapaki era baru seperti episode Mahabarata.
Sekaranglah saatnya kita tunjukkan, bahwa kita mampu bangkit
dari keterpurukan dan “Berbakti Bagi Ibu Pertiwi”, seperti John F.
Kennedy yang mengatakan: “Jangan bertanya apa yang sudah diberikan
bangsa ini kepada kita, tetapi tanyakan apa yang sudah kita berikan
terhadap bangsa ini” [1].
Now is the right time in “Devoting to our Mother Land ”.
RUH YOGYAKARTA UNTUK INDONESIA
KETIKA saya menerima gagasan akan digelar wacana tentang
Keistimewaan DIY [2], ada perasaan bangga, karena pemrakarsanya
adalah Kaum Muda, yang biasanya kurang peduli tentang hal-hal seperti
itu. Serta-merta saya seperti tergugah untuk merefleksi kembali peristiwa
hampir 80 tahun yang lalu, saat diselenggarakan Kongres Pemuda Ke-2.
Ketika itu Kaum Muda Indonesia telah melahirkan wawasan kebangsaan
dan mendorong percepatan menuju tercapainya Indonesia Merdeka.
Sejarah mencatat, Kongres itu melahirkan “Soempah Pemoeda”
yang terkenal dengan ikrar “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa:
Indonesia”, yang oleh Pemuda Yamin disebut “Roch Indonesia”.
Mungkin suasana inilah yang memberi inspirasi Kaum Muda Yogya saat
itu, perlunya menegaskan kembali “Semangat Keistimewaan Yogya”.
Barangkali sekarang ini ada kegayutannya jika menyebut “Ruh
Yogyakarta” dalam kontribusinya terhadap “Ruh Indonesia”. Setidaknya
dalam embrio gagasannya sudah terentang pada garis benang merahnya
pada aspek historis yang harus diisi dengan kearifan budaya yang digali
dari bumi sejarah Yogyakarta sendiri sejak menjadi Kota Revolusi dan
Ibukota Republik.
Sesungguhnya sudah lama, keinginan warga masyarakat untuk
memiliki regulasi yuridis yang memadai guna mengatur kompleksitas
predikat keistimewaan DIY, sebagai “Ruh Yogyakarta”. Tetapi sampai
sekarang kandungan “ruh” keistimewaan itu belum juga terwujud.
Dalam upaya menyusun penyempurnaan regulasi dalam rangka
keistimewaan DIY, setidaknya tiga “ruh” penting yang patut
dipertimbangkan. Pertama, pemahaman yang komprehensif tentang
sejarah DlY, baik sejarah masyarakat maupun pemerintahannya. Kedua,
perkembangan kekinian, dengan munculnya pro dan kontra di
masyarakat, di antara politisi dengan pandangan dan kepentingan
politiknya serta pakar sejarah dan ketatanegaraan. Ketiga, persoalan
status tanah-tanah di DlY yang belum mendapatkan kepastian hukum,
yang akan punya implikasi luas di masyarakat pada masa yang akan
datang.
From “the Soul of Yogyakarta” to enrich “the Soul of Indonesia ”.


MAKNA DAN SUBSTANSI KEISTIMEWAAN


HARUS diakui, jika kita memang belum final merumuskan secara
eksplisit tentang makna keistimewaan, maka adalah tugas kita bersama
untuk menegaskan makna tersebut, agar kita memiliki kesamaan prinsip
dan pemahaman. Padahal konstitusi telah mengamanatkan, bahwa
pengakuan atas Keistimewaan sudah secara jelas dan tegas dinyatakan
dalam UUD 1945 Pasal 18 beserta amandemennya. Demikian juga
dengan sejumlah UU mengenai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
termasuk UU No. 32 Tahun 2004.
Tahta Untuk Rakyat
Peneguhan tekad Tahta Untuk Rakyat, demikian juga Tahta Bagi
Kesejahteraan Kehidupan Sosial-Budaya Rakyat, adalah komitmen
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang akan selalu
membela kepentingan rakyat, dengan berusaha untuk bersama rakyat, dan
memihak rakyat. Tahta Untuk Rakyat harus dipahami dalam konteks
keberpihakan Kraton terhadap rakyat dalam rangka menegakkan keadilan
dan kebenaran serta meningkatkan kualitas hidup rakyat. Oleh karena itu,
Tahta Untuk Rakyat harus dipahami dalam penyikapan Kraton yang
diungkapkan dengan bahasa sederhana Hamangku, Hamengku,
Hamengkoni.
Dengan demikian, Tahta Untuk Rakyat menegaskan hubungan dan
keberpihakan Kraton terhadap Rakyat, sebagaimana tertuang dalam
konsep filosofis “Manunggaling Kawula-Gusti”. Keberadaan Kraton
karena adanya rakyat, sementara rakyat memerlukan dukungan Kraton
agar terhindar dari eksploitasi yang bersumber dari ketidakadilan dan
keterpurukan. Kraton tidak akan ragu-ragu memperlihatkan keberpihakan
terhadap Rakyat, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa-masa
Revolusi dulu.
The Substances of Yogyakarta Special Province are contained in
Article 18 of the Constitution 1945 and its amendments, as well as
contained
in several Laws including Law Number 32 Year 2004.
SIKAP SPIRITUAL-KULTURAL
PADA intinya, dalam kita membangkitkan semangat bangsa dari
krisis yang berkepanjangan ini, hendaknya kembali merevitalisasi
khasanah lama yang sudah terpateri dalam sejarah perjuangan bangsa,
karena di sana telah dengan lengkap memuat sumber moralitas, spirit
maupun “ruh” ke Indonesiaan. Demikian juga dalam merunut
Keistimewaan DIY, juga mengandung pesan dan penegasan terhadap
makna tersirat dalam dokumen sejarah yang tak terbantahkan. Bukankah
Bung Karno pernah berpesan: “Janganlah sekali-kali meninggalkan
sejarah?”.
Itulah sekelumit nilai-nilai substansial yang sejatinya menandai ciri
khas keistimewaan DIY berbeda dengan propinsi lain, yang ingin saya
titipkan kepada seluruh Rakyat. Semua uraian itu sesungguhnya adalah
sebuah renungan dan ajakan untuk mengkaji kembali sejarah keberadaan
Pemerintahan DIY beserta Masyarakatnya.
Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan
laku spiritul memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil
ketegasan Sikap Spiritual-Kultural yang saya tuangkan dalam sebuah
Pernyataan Sejarah, sebagai berikut:
1. Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia lagi
menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY
pada purna masa jabatan tahun 2003-2008 nanti.
2. Selanjutnya saya titipkan Masyarakat DIY kepada
Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY yang akan datang.
The Historical Statement of Sultan Hamengku Buwono X
as the Spiritual-Cultural StandPoint:
1. With all my heart and soul, I sincerely declare that I am not willing
to take hold of the Governor/Regional Leader of the Yogyakarta
Special Province on the next post-period of 2003-2008.
2. Furthermore, I entrust the people of Yogyakarta to the next
Governor/Regional Leader of the Yogyakarta Special Province.
SEBUAH RENUNGAN PESAN KESEJARAHAN
MAKA, guna menandai momentum Tasyakuran malam ini, saya
ingin membacakan sebuah Renungan dan Pesan Kesejarahan melalui
puisi “KESAKSIANKU”.
Dengan mengucap Bismillahhirahmannirahim
kuguratkan kesaksianku:
Sang Mandala berputar meninggalkan jejak-jejak sejarah
Tanpa berpaling berdasa warsa terlampaui
Zaman berganti mengikuti kala yang berganti
Hanya Dia yang tak terganti
Laa ilaaha’illallaah, Laa ilaaha’illallaah
Aku takkan bermakna tanpa mereka
Mereka yang memiliki arti
Mereka yang bersuara
Suara-suara yang jelas terdengar
Laa ilaaha’illallaah, Laa ilaaha’illallaah
Suara-suara itu kini makin keras terdengar
Bukan dari mulut semata, bukan dari kekosongan belaka
Suara-suara dari jiwa-jiwa yang ingin merdeka
Suara-suara kawula yang menyatu dengan alam raya
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Itulah suara hati, suara nurani
dari mereka yang berjalan bersamaku
Guratanku adalah suara mereka
Jeritanku adalah jeritan mereka
Tangisku adalah tangis mereka
Ceriaku adalah ceria mereka
Hatiku adalah hati mereka jua.
Melalui Sikap dan Pernyataan serta Renungan dan Pesan seperti
itu, lewat guratan “Kesaksianku” ini, hendaknya “Ruh Yogyakarta” itu
diaktualisasikan dengan ruh baru, ruh kemajuan, ruh demokrasi yang
berkeadilan, sesuai akar budaya yang kita miliki dan tantangan masa
depan.
Berkaitan dengan Malam Tasyakuran ini, Anand Krishna
mengambil jalur penafsiran “Jangka Jayabaya” yang berbeda. Jayabaya
mengajak kita untuk mentransformasi diri, mengalahkan ketakutan.
Jangankan menantikan sosok “Herumukti”, seorang tokoh “dari langit”
yang bersenjatakan trisula, tombak tajam bermata tiga: kebenaran,
keadilan dan kejujuran, dia melihat Jayabaya berbicara mengenai
kerinduan akan penemuan jatidiri setiap manusia Indonesia, yang
sejatinya adalah kita-kita sendiri juga!
Tampaknya secara tematik ada relevansinya dengan acara malam
ini, di mana kita-kita sendirilah yang harus menangkap makna tersirat
dalam bait lagu perjuangan di awal tulisan ini: “Bangunlah Jiwanya,
Bangunlah Badannya” --membangun jiwa-raga guna “Berbakti Bagi
Ibu Pertiwi”.
Kraton Yogyakarta, 7 April 2007


KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, HAMENGKU BUWONO X


[1] HB X, “Bangunlah Jiwanya-Bangunlah Badannya, Berbakti Demi Ibu Pertiwi”, Keynote
Speech, Simposium Nasional, National Integration Movement Forum Kebangkitan Jiwa Jawa
Tengah-Anand Krishna Centre Surakarta, Semarang, 23 Maret 2006.
[2] HB X, “Keistimewaan Yogya di Mata Kaum Muda”, Keynote Speech, Diskusi Panel,
Pusat Studi Masyarakat Yogyakarta, 8 Maret 2004.

No comments: