Monday, June 15, 2009

Televisi Pinggirkan Budaya Lokal

Masyarakat etnis sekarang semakin terpinggirkan, pada hal sebenarnya masyarakat etnis mempunyai identitas yang jelas. Bagaimana agar masyarakat etnis bisa eksis melalui teknologi informasi atau ditengah informasi global sekarang ini. Ketika saya di Jakarta dan melihat televisi, ternyata tidak ada nilai tambah untuk budaya lokal. Hal yang sama juga dirasakan ketika di Yogya. Tidak ada bedanya. Itulah kegelisahan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diungkapkan di depan Dewan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.

Dari perspektif pembangunan jati diri bangsa, kegelisahan Ngarso Dalem itu bukan sesuatu yang aneh. Dari semua media massa, televisi merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat, baru kemudian disusul surat kabar dan radio (Tabrani,2003). Menurut Tabroni, pengaruh televisi terhadap pola pikir masyarakat disebabkan karena televisi memiliki kemampuan mencitpakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layar kaca menjadi lebih nyata dari realitasnya. Kekuatan dahsyat televisi melebihi media yang lain, mempengaruhi kehidupan dan emosi seseorang melalui gambar-gambar yang diperjelas dengan narasi. Makin menarik gambar yang ditampilkan, makin dalam pengaruh yang ditimbulkan. Berarti pemirsa akan lebih mengingat dan membayangkannya.

Kebudayaan merupakan sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya, dalam merespon berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Acuan itu berupa nilai-nilai, kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan. Di sisi lain nilai-nilai tersebut kemudian mewujud dalam bentuk peradaban, dimana terbangun norma-norma yang akan dijadikan tolok ukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan. Penjabaran nilai kebudayaan menjadi norma peradaban dapat dipandang sebagai pengalihan dan sesuatu yang transenden menjadi sesuatu yang immanen.


Pasang-surutnya kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh sejauh mana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka acuan untuk dijabarkan melalui sesuatu tatanan normatif. Dalam era kontemporer ini, suatu kebudayaan sebagai sistem nilai dapat dengan mudah didesak oleh sistem nilai baru, sehingga kebudayaan yang lama kehilangan dayanya sebagai acuan untuk menjabarkan norma-norma perilaku. Pada titik ekstrem, menurut Bungin (2005), pengaruh televisi dan membawa masyarakat kearah kehancuran moral dan pandangannya. Terlihat bahwa televisi dapat mempengaruhi perilaku, sikap dan bergerak kearah penghancuran pandangan, moral, persepsi, kepribadian dan budaya umat manusia.

Budaya mempunyai karakter dinamis dan berkembang dalam diri masyarakat. Karena proses yang bersifat inheren tersebut maka bisa saja terjadi suatu saat kita akan terkaget-kaget dengan apa yang terjadi. Dan budaya itu tidak akan mudah, untuk tidak mengatakan mustahil, diputar kembali agar kembali pada kondisi semula, seperti yang diharapkan.

Arus informasi dan interaksi budaya berskala global melalui media elektronik sekarang perlu kita cermati sejauh mana signifikan pengaruhnya dalam budaya lokal. Dalam kaitan ini, pertemuan antar-budaya jangan terutama digambarkan sebagai pertemuan antara dua fihak belaka, melainkan terjadi dengan keterlibatan sejumlah fihak secara segera (instantaneous) serta serempak (simultaneous). Teknologi informasi dan komunikasi menjadi sarana mempercepat proses tersebut.

Agar tidak sekedar retorik, harapan berbagai tokoh akan lestarinya budaya lokal, harus diikuti dengan upaya nyata memberi ruang dan media bagi tetap berlangsungnya interaksi budaya dengan masyarakatnya. Pertemuan antar-budaya yang demikian intens, dan sering bagaikan Daud dan Goliath. Tanpa dukungan kuat dari otoritas media, maka sulit bagi budaya lokal untuk tetap bertahan. Budaya lokal atau budaya etnis akan bernasib seperti benda-benda bersejarah yang teronggok diam di museum-museum, tak ada lagi relevansinya dengan kehidupan nyata masyarakat. Budaya etnis menjadi benda mati, terasing dan tak ditemukan lagi dalam realitas.

Kehidupan budaya sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya derajat kesadaran budaya dan tanguh-rapuhnya tingkat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya. Serbuan budaya asing dan budaya global melalui media menyebabkan dominasi budaya asing dalam atmosphere budaya asli, dan lambat laun mengalami adopsi sehingga budaya asing bermertamorfose menjadi ‘model’ untuk ditiru.

Kecenderungan meniru itu, dalam kelanjutannya bisa terpantul melalui berkembangnya gaya hidup baru yang dianggap superior dibandingkan dengan gaya hidup lama. Berkembangnya gaya hidup baru itu dapat menimbulkan kondisi sosial dimana berlaku berbagai norma acuan perilaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan gaya hidup yang ditiru dan internalisasi budaya asing bisa berkelanjutan dengan timbulnya gejala keterasingan dari kebudayaan sendiri. Kondisi inilah yang sekarang sedang terjadi di tengah masyarakat kita, khususnya generasi muda.

Maraknya kegiatan entertainment, lebih-lebih didukung media massa elektronik misalnya, apakah hanya sekedar beresensikan nilai-nial rekreatif, atau justru sudah menjadi budaya baru yang derivasinya muncul dalam berbagai gaya hidup baru, seperti hilangnya nilai kesederhanaan, merosotnya etos perjuangan, merebaknya budaya instan, bahkan menguatnya hedonisme di tengah masyarakat. Kalau yang terakhir yang terjadi, maka persoalannya menjadi sangat serius, karena kontraproduktif terhadap perlunya sebuah bangsa yang bisa kompetitif dalam era global sekarang ini.

Persaingan merebut pangsa pasar antar stasiun TV, akhirnya berujung pada pilihan format program dan pola acara masing-masing stasiun. Iklan nampaknya menjadi rejim baru penguasa dunia media dan informasi abad ini. Dengan dana yang melimpah, iklan menjadi kekuatan yang mampu membuat hijau kuningnya program-program acara di televisi atau radio. Dampaknya, program acara akan tayang atau tidak, berlanjut atau tidak, tergantung pada rating dan itu tidak ada kaitannya dengan dimensi moral dan etika pada sajian televisi swasta. Apalagi sulit mengukurnya, karena sifatnya yang abstrak dan multi persepsi. Moral dan etika menjadi wilayah abu-abu bagi media, sulit untuk men-judge-nya, dan ini menjadi peluang media lebih leluasa mengeksploitasinya.

Kekhawatiran akan tergerusnya nilai-nilai budaya bangsa sangat masuk akal bila dikaitkan dengan profil pemirsa yang setia berada di depan pesawat TV. Mengacu pada data SRI (Survey Reseach Indonesia), penonton acara televisi yang paling setia di negeri ini justru pelajar, kelompok usia yang sangat rawan terhadap berbagai pengaruh itu. Menurut SRI pula, jika karyawan dan ibu rumah tangga hanya menghabiskan 2,3 hingga 2,8 jam sehari di depan pesawat televisinya, maka pelaiar menghabiskan waktunya 3,1 jam sehari di depan pesawat tersebut. Dengan waktu sebanyak itu, bisa dibayangkan seberapa besar pengaruh yang bisa diakibatkan acara-acara TV yang tidak pro budaya lokal, namun tak hentinya menampilkan adegan kekerasan (fisik dan psikhologis), gaya hidup baru yang cenderung semakin permisif dan melemahkan peranan norma dan nilai budaya lokal untuk digantikan dengan nilai baru.

Rekayasa budaya merupakan sebuah upaya yang perlu dilakukan. Persoalannya, dan ini realita yang terjadi, budaya lokal atau tradisi dan media elektronik di bawah penguasaan rejim periklanan sekarang ini, ibaratnya air dan minyak. Pada hal, seperti diuraikan didepan, media massa elektronik mampu membentuk trend setter baru melalui acara-acaranya, dan sangat besar kekuatannya dalam pembentuk budaya pop di masyarakat era sekarang. Hanya TV RI atau TV lokal yang mau menampilkan budaya etnis atau budaya lokal dalam tayangannya. TV Jogja, dengan semboyan “ Media Publik Kita”, berusaha mengangkat konten budaya lokal, melalui berbagai acaranya seperti Angkringan, Pangkur Jenggleng, Karang Tumaritis, dan lain-lain. Jogja TV berusaha mewujudkan trade mark-nya “ Tradisi Tiada Henti “, melalui berbagau acara yang dikemas dalam nuansa budaya, seperti Langen Swara, Langen Laras, Geguritan, Kawruh, Menembus Batas, dan lain-lain.

Kita perlu memberi apresiasi atas upaya mengangkat budaya lokal oleh kedua stasiun televisi tersebut. Yang masih jauh dari harapan adalah radio. Radio di daerah nampaknya larut dalam arus budaya pop. Lebih-lebih dengan adanya radio jaringan, maka frekwensi radio semakin meminggirkan konten budaya lokal. Sulit untuk menemui penyiar yang berbahasa Indonesia dengan gaya lokal, atau memberikan aksentuasi etnis dalam berdialog dengan pendengarnya. Tidak ada acara budaya lokal atau budaya etnis yang menjadi ikon penyiaran radio, kecuali beberapa radio yang masih mempertahankan acara-acara budaya, seperti yang selama ini disiarkan.

Upaya membangun budaya lokal menjadi mainstream penyiaran radio dan penayangan televisi memerlukan komitmen politik dan sekaligus kesamaan visi didalam masyarakat. Dalam bahasa yang lebih sederhana, transformasi budaya perlu dikawal, tidak bisa dibiarkan ikut mekanisme pasar. Kepekaan semua pihak terhadap fenomena-fenomena baru perlu ditumbuhkembangkan. Dan yang jauh lebih menentukan komitmen media untuk mengangkat konten budaya lokal dalam program-program yang diproduksinya. Kemasan baru mungkin perlu dilakukan, agar budaya lokal bisa diterima oleh generasi muda.

Budaya popular adalah budaya idola. Bahkan Sang Idola, tak peduli seperti apa kualitas kehidupannya, menjadi Dewa Baru bagi pemuja entertainment. Sesuatu yang sebelumnya biasa dan tidak laku akan berbeda ketika hal itu dilakukan, dipakai, dan diucapkan oleh sang idola. “Status”-nya akan berubah dengan cepat, dan dengan mudah akan diadopsi oleh para pengidolanya.

Persoalannya lain, dari perspektif hukum, apakah UU Penyiaran mampu berfungsi sebagai regulasi yang mendukung rekayasa budaya untuk memberi ruang pada tampilnya budaya etnis. Apakah UU mampu membangun komitmen penyelenggara siaran televisi di dalam negeri agar mau mengangkat budaya lokal, antara lain budaya etnis dengan identitas yang dimiliki, dalam siaran dan tayangan-tayangannya. Akhir tahun 2009, menjadi batas waktu efektifitas televisi berjaringan. Ketentuan bahwa TV Nasional harus mempunyai jeringan dengan televisi lokal, memberi harapan akan terangkatnya budaya etnis /lokal melalui layar kaca. Last but not least, komitmen pada keadiluhungan budaya sendiri (budaya lokal) menjadi kunci efektifitas ketentuan tersebut.

Kalau tidak maka pemberdayaan masyarakat menjadi strategi terakhir yang bisa diharapkan. Strategi budaya perlu disestimatisasikan melalui pendidikan dan interaksi budaya masyarakat. Harapannya, masyarakat bisa menjadi subyek atas informasi, yang mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah jenis informasi dan hiburan yang layak dikonsumsi. Itu pun tidak mudah. Pertanyaannya, apakah peran itu bisa diserahkan kepada masyarakat, karena yang terjadi adalah ketidakberdayaan. Pilih tayangan yang berkualitas, itu kampanye yang sering dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia. Dampingi anak ketika menonton televisi, itu himbauan yang lain. Pilihan itu sebenarnya sangat mudah, hanya sebatas memencet remote control, namun sangat sulit ketika budaya lain (baca: rejim iklan) sudah sangat kuat mencengkeram kesadaran pemirsa.
Drs. Biwara Yuswantana,MSi.