Tuesday, June 3, 2008

Pancasila dan Kekerasan Agama

Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:36 WIB
Oleh Victor Rembeth

Peringatan lahirnya Pancasila tahun 2008 dinodai dengan pengingkaran terhadap makna hakiki ideologi berbangsa yang inklusif ini. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.

Kekerasan telah menjadi satu-satunya alat untuk menghapus dan meniadakan orang lain yang berbeda. Agama yang menjadi semangat pemersatu dalam sila awal Pancasila justru dipakai untuk memorakporandakan kebersamaan yang harusnya menjadi berkat bagi seluruh bangsa ini.

Gejala antieksistensi di antara berbagai kelompok yang hidup bersama dalam sebuah negara bangsa telah menunjukkan wajahnya yang akut. Kenyataan ko- eksistensi plural telah sampai kepada titik yang mengkhawatirkan. Agama telanjur digiring ke dalam sebuah wacana antieksistensial. Manifestasinya adalah sifat curiga dan sektarian yang telah mulai melembaga dalam kehidupan keberagaman kita.

Tribalisme primitif

Dalam memberi makna Pancasila, tantangan yang sangat dirasakan adalah bagaimana kita mampu memberi makna untuk apa yang disebut sebagai religious otherness. Dengan belajar dari sejarah berdarah agama-agama yang penuh dengan eliminasi dan percaturan menang kalah, seharusnya ideologi Pancasila mampu memberi warna baru untuk sebuah relasi antaragama yang berbasis kekuatan sipil masyarakat. Tantangan hidup beragama pada abad ini sangat nyata. Rabbi Jonathan Sacks mengatakan bahwa ”ketika pada abad ke-20 didominasi oleh politik ideologi, maka abad ke-21 akan didominasi oleh politik identitas”.

Sikap kekerasan agama sebetulnya mengembalikan manusia kepada sebuah renaisans tribal- isme yang primitif. Sikap agama yang bisa dipotret dari kebenaran tribalisme ini adalah ”suku saya melawan suku kamu, dan tuhan- ku melawan tuhan kamu”. Th Sumartana pernah menyoroti keberlainan agama yang diakibatkan oleh sikap tribalisme ini sebagai sebuah tatanan dunia yang ”cukup untuk diri sendiri”.

Dunia tribal adalah dunia yang tertutup, dunia seluas pandang lahan kehidupan, air, tanah, gunung, sawah, lading hutan, dan agama serta tuhan yang terbatas membuat masyarakat juga tak mampu menghargai pengalaman spiritual yang lain. Tantangan ini menyebabkan kemunduran agama dalam memandang realitas kebersamaan yang plural.

Sebuah percaturan menang kalah akan dengan mudah disusupi oleh semangat sektarian akut. Agama yang sering dinobatkan sebagai kekuatan antimasyarakat sipil mendapat bukti pembenaran. Penggunaan agama yang dipertentangkan satu dengan yang lain untuk kepentingan politis negara dan pasar menjadi begitu sangat nyata dalam relasi perebutan posisi ruang publik. Dalam kondisi problematik pendefinisian peran agama dalam masyarakat sipil ini, kepentingan negara dan pasar menjadi begitu mudah mengambil celah untuk berjaya.

Ketika negara masuk mengooptasi agama, seperti yang dipertunjukkan secara kasatmata selama masa rezim Orde Baru, kekuatan agama-agama pun dimatikan secara perlahan dan kemampuan menghadirkan kekuatan masyarakat sipil menjadi lemah. Agama-agama sekadar menjadi stempel kebijakan negara untuk berbagai kepentingan, mulai dari program KB sampai kepada penggunaan restu politik bagi kebertahanan sebuah rezim.

Dominasi pasar juga mampu menuai keuntungan dari keterbelahan yang ada. Berbagai media berbasis agama menjadi marak dan tak jarang mengorbankan konsepsi kebersamaan dan semangat keindonesiaan yang bhinneka tetapi tetap eka. Oleh karena itu, kaum kapitalis menjadi bersanding dengan agama ketika diuntungkan dengan program SMS rohani melalui telepon seluler ataupun pengumpulan massa yang bertajuk siraman dan pembinaan rohani. Komunitas agama dibanjiri dengan berbagai pemetaan identitas yang berujung kepada komodifikasi agama-agama untuk kepentingan pasar.

Realitas koeksistensi masyarakat yang menjadi cita-cita awal lahirnya negara bangsa Indonesia idealnya bisa dengan manis menghadirkan relasi kebersamaan. Namun, realitas keterlibatan negara dalam politik identitas menjadikan sebuah relasi baru dalam masyarakat yang berbasis antaragama harus bisa kembali diretas. Koeksistensi sebagai keniscayaan bisa dengan mudah menjadikan sekelompok manusia hanya sebagai peran pembantu dalam sebuah hegemoni kelompok mayoritas.

Proeksistensial

Relasi baru yang secara cerdas dilahirkan oleh ideologi Pancasila dalam negara bangsa yang majemuk ini adalah keinginan mengenal orang lain lebih dalam lagi dan apa adanya. Konsekuensinya, sebuah spiritualitas hakiki yang bersifat proeksistensial harus terus diremajakan dalam kehidupan berbagai kelompok agama.

Kendati berbagai luka telah memecah belah dan mengakibatkan kerusakan cukup parah dalam hubungan kelompok antariman, masih banyak problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dan pengangguran, yang bisa mempersatukan warga sebangsa.

Dengan spiritualitas yang pro- eksistensial, sesama warga sebangsa akan mau membagi dan berbagi. Proesksistensi antaragama adalah modal untuk menghadirkan sebuah masyarakat sipil yang bermartabat. Bila demikian adanya, cita-cita Pancasila bukanlah pepesan kosong, melainkan semangat yang masih diperlukan dalam upaya nation building yang mengutuk segala macam kekerasan.

Victor Rembeth Pendeta, Alumnus Program IRB Universitas Sanata Dharma

Pancasila dan Kekerasan Agama Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:36 WIB

Oleh Victor Rembeth

Peringatan lahirnya Pancasila tahun 2008 dinodai dengan pengingkaran terhadap makna hakiki ideologi berbangsa yang inklusif ini. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.

Kekerasan telah menjadi satu-satunya alat untuk menghapus dan meniadakan orang lain yang berbeda. Agama yang menjadi semangat pemersatu dalam sila awal Pancasila justru dipakai untuk memorakporandakan kebersamaan yang harusnya menjadi berkat bagi seluruh bangsa ini.

Gejala antieksistensi di antara berbagai kelompok yang hidup bersama dalam sebuah negara bangsa telah menunjukkan wajahnya yang akut. Kenyataan ko- eksistensi plural telah sampai kepada titik yang mengkhawatirkan. Agama telanjur digiring ke dalam sebuah wacana antieksistensial. Manifestasinya adalah sifat curiga dan sektarian yang telah mulai melembaga dalam kehidupan keberagaman kita.

Tribalisme primitif

Dalam memberi makna Pancasila, tantangan yang sangat dirasakan adalah bagaimana kita mampu memberi makna untuk apa yang disebut sebagai religious otherness. Dengan belajar dari sejarah berdarah agama-agama yang penuh dengan eliminasi dan percaturan menang kalah, seharusnya ideologi Pancasila mampu memberi warna baru untuk sebuah relasi antaragama yang berbasis kekuatan sipil masyarakat. Tantangan hidup beragama pada abad ini sangat nyata. Rabbi Jonathan Sacks mengatakan bahwa ”ketika pada abad ke-20 didominasi oleh politik ideologi, maka abad ke-21 akan didominasi oleh politik identitas”.

Sikap kekerasan agama sebetulnya mengembalikan manusia kepada sebuah renaisans tribal- isme yang primitif. Sikap agama yang bisa dipotret dari kebenaran tribalisme ini adalah ”suku saya melawan suku kamu, dan tuhan- ku melawan tuhan kamu”. Th Sumartana pernah menyoroti keberlainan agama yang diakibatkan oleh sikap tribalisme ini sebagai sebuah tatanan dunia yang ”cukup untuk diri sendiri”.

Dunia tribal adalah dunia yang tertutup, dunia seluas pandang lahan kehidupan, air, tanah, gunung, sawah, lading hutan, dan agama serta tuhan yang terbatas membuat masyarakat juga tak mampu menghargai pengalaman spiritual yang lain. Tantangan ini menyebabkan kemunduran agama dalam memandang realitas kebersamaan yang plural.

Sebuah percaturan menang kalah akan dengan mudah disusupi oleh semangat sektarian akut. Agama yang sering dinobatkan sebagai kekuatan antimasyarakat sipil mendapat bukti pembenaran. Penggunaan agama yang dipertentangkan satu dengan yang lain untuk kepentingan politis negara dan pasar menjadi begitu sangat nyata dalam relasi perebutan posisi ruang publik. Dalam kondisi problematik pendefinisian peran agama dalam masyarakat sipil ini, kepentingan negara dan pasar menjadi begitu mudah mengambil celah untuk berjaya.

Ketika negara masuk mengooptasi agama, seperti yang dipertunjukkan secara kasatmata selama masa rezim Orde Baru, kekuatan agama-agama pun dimatikan secara perlahan dan kemampuan menghadirkan kekuatan masyarakat sipil menjadi lemah. Agama-agama sekadar menjadi stempel kebijakan negara untuk berbagai kepentingan, mulai dari program KB sampai kepada penggunaan restu politik bagi kebertahanan sebuah rezim.

Dominasi pasar juga mampu menuai keuntungan dari keterbelahan yang ada. Berbagai media berbasis agama menjadi marak dan tak jarang mengorbankan konsepsi kebersamaan dan semangat keindonesiaan yang bhinneka tetapi tetap eka. Oleh karena itu, kaum kapitalis menjadi bersanding dengan agama ketika diuntungkan dengan program SMS rohani melalui telepon seluler ataupun pengumpulan massa yang bertajuk siraman dan pembinaan rohani. Komunitas agama dibanjiri dengan berbagai pemetaan identitas yang berujung kepada komodifikasi agama-agama untuk kepentingan pasar.

Realitas koeksistensi masyarakat yang menjadi cita-cita awal lahirnya negara bangsa Indonesia idealnya bisa dengan manis menghadirkan relasi kebersamaan. Namun, realitas keterlibatan negara dalam politik identitas menjadikan sebuah relasi baru dalam masyarakat yang berbasis antaragama harus bisa kembali diretas. Koeksistensi sebagai keniscayaan bisa dengan mudah menjadikan sekelompok manusia hanya sebagai peran pembantu dalam sebuah hegemoni kelompok mayoritas.

Proeksistensial

Relasi baru yang secara cerdas dilahirkan oleh ideologi Pancasila dalam negara bangsa yang majemuk ini adalah keinginan mengenal orang lain lebih dalam lagi dan apa adanya. Konsekuensinya, sebuah spiritualitas hakiki yang bersifat proeksistensial harus terus diremajakan dalam kehidupan berbagai kelompok agama.

Kendati berbagai luka telah memecah belah dan mengakibatkan kerusakan cukup parah dalam hubungan kelompok antariman, masih banyak problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dan pengangguran, yang bisa mempersatukan warga sebangsa.

Dengan spiritualitas yang pro- eksistensial, sesama warga sebangsa akan mau membagi dan berbagi. Proesksistensi antaragama adalah modal untuk menghadirkan sebuah masyarakat sipil yang bermartabat. Bila demikian adanya, cita-cita Pancasila bukanlah pepesan kosong, melainkan semangat yang masih diperlukan dalam upaya nation building yang mengutuk segala macam kekerasan.

Victor Rembeth Pendeta, Alumnus Program IRB Universitas Sanata Dharma

Agama yang Tidak Menghakimi

Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:35 WIB
Oleh Muhadjir Darwin

Ibu Pertiwi menangis karena kebhinnekaan dicederai di negeri yang sebelumnya dikenal dunia sebagai model kerukunan hidup beragama, di negara yang para ulamanya sering berteriak keras, meyakinkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian.

Kebhinnekaan tersungkur ketika massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang menuju silang Tugu Monas, Jakarta Pusat, hari Minggu (1/6/2008) untuk memperingati hari kelahiran Pancasila dan menyuarakan kebebasan beragama/berkeyakinan diserbu oleh massa beratribut Komando Laskar Islam (KLI)/Front Pembela Islam (FPI). Massa tersebut menyerang dan melakukan penganiayaan serta perusakan terhadap massa AKKBB. Sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak.

Dalam kejadian ini, FPI sekali lagi telah mempertontonkan wajah Islam yang ”garang”. Sikap polisi patut disayangkan karena tidak mencegah dan mengatasi aksi kekerasan tersebut, bahkan menyalahkan AKKBB karena tidak melakukan koordinasi dengan Polri.

Ketua MUI Amidhan seperti ingin bersikap netral dalam peristiwa ini dengan menyayangkan (bukan memprotes atau mengutuk) aksi KLI/FPI, tetapi pada sisi lain menyalahkan pihak AKKBB yang dikatakan melakukan provokasi terhadap KLI/FPI karena di dalam massa tersebut terdapat pengikut Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat oleh MUI. Pernyataan yang sepintas netral tersebut, jika dicermati, cenderung lebih membela KLI/FPI. Dengan tuduhan provokasi, secara implisit Amidhan mau menegaskan bahwa KLI/FPI adalah institusi suci yang tidak boleh diprovokasi, dan karena itu kekerasan yang mereka lakukan (meskipun disayangkan) dapat dimaklumi, lepas dari persoalan apakah klaim provokasi tersebut masuk akal.

Bangsa majemuk

Sesuatu hal yang perlu menjadi keprihatinan kita bersama sebagai sebuah bangsa majemuk adalah kecenderungan maraknya cara-cara kekerasan atas nama Islam dalam menyikapi perbedaan. Sebagai seorang Muslim, saya mencoba bertanya kepada hati nurani saya sendiri, inikah sejatinya Islam? Jika hati saya membisikkan jawaban ”ya”, saya harus merasa malu untuk mengatakan bahwa agama saya adalah agama perdamaian dan malu pula untuk memprotes Amerika dan Israel ketika mereka melakukan teror di tanah Palestina atau Irak. Jika hati kecil saya menjawab ”bukan”, saya harus malu terhadap ulah saudara saya seagama dan merasa citra agama saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.

Umat Islam mempunyai kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan. Tokoh-tokoh Islam pencetus Piagam Jakarta dengan lapang dada mau menanggalkan 7 kata ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam menyusun Pembukaan UUD 1945 dan menerima Pancasila sebagai dasar negara sebagai bentuk pengakuan mereka terhadap prinsip-prinsip pluralisme yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ini berarti, umat Islam-lah yang paling berkepentingan terhadap terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Umat Islam pula yang seharusnya paling marah ketika KLI/FPI atas nama Islam memorakporandakan komitmen nasional bangsa Indonesia dengan anarkisme yang mereka pertontonkan kepada publik pada hari sakralnya bangsa dan negara ini. Keberadaan FPI tidak mengharumkan, tetapi justru merusak citra Islam.

Ketika AS dan Israel melakukan teror di kawasan Timur Tengah, umat Islam dunia menghujat kedua negara tersebut dengan menggunakan dalil kemerdekaan, kebebasan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Ketika Osama bin Laden menjawab hegemoni Amerika dengan menghancurkan menara WTC di New York, tokoh-tokoh Islam moderat sibuk meyakinkan dunia bahwa aksi Osama tidak mencerminkan Islam karena Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama perdamaian. Hal yang sama juga dilakukan ketika kelompok Azahari melakukan teror di beberapa kota di Indonesia.

Lalu, bagaimana saat ini umat Islam Indonesia dapat meyakinkan dunia ketika KLI/FPI yang atas nama Islam melakukan perusakan dan penganiayaan terhadap massa AKKBB yang tengah melakukan aksi damai tersebut? Jika pun mereka tidak setuju, apakah mereka punya otoritas untuk mewakili Tuhan atau negara menghakimi sesama warga negara? Apakah dengan peristiwa seperti ini kita masih punya alasan untuk meyakinkan dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian?

Agama egaliter

Saya jadi ingat ketika tokoh feminis Muslim Kanada, Irsyad Manji, ceramah dalam satu seminar di Kampus UGM. Manji menegaskan pentingnya kemerdekaan berijtihad untuk memajukan Islam. Terhadap pernyataan tersebut, seorang ibu yang mengaku anggota Hizbut Tahrir merespons dengan mengatakan bahwa Irsyad Manji tidak punya otoritas untuk berijtihad karena dia bukan ulama. Hanya ulama yang benar-benar menguasai ilmu agama yang mempunyai otoritas tersebut. Ia lalu membuat analogi dokter gigi. Orang sakit gigi hanya akan mendapatkan pertolongan yang benar jika datang ke dokter gigi. Orang awam tidak bisa mencabut gigi yang sakit karena akibatnya bisa fatal.

Terhadap perumpamaan tersebut, saya yang ketika itu menjadi pembahas presentasi Manji menjawab. Analogi tersebut secara implisit mengatakan bahwa Islam adalah agama yang elitis, di mana fatwa ulama harus diikuti secara taqlid (patuh) oleh pengikutnya, padahal Islam adalah agama yang egaliter. Kedua, dokter belum tentu membuat diagnosis yang tepat atau penanganan medis yang benar.

Nah, ulama dapat juga membuat fatwa keliru dengan menyesatkan aliran tertentu yang berbeda dengan keyakinannya atau memerintahkan umatnya melakukan perusakan, penganiayaan, atau pembunuhan terhadap orang atau kelompok lain yang mempunyai keyakinan yang berbeda.

Muhadjir Darwin Guru Besar Fisipol UGM, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM

Agama yang Tidak Menghakimi Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:35 WIB

Oleh Muhadjir Darwin

Ibu Pertiwi menangis karena kebhinnekaan dicederai di negeri yang sebelumnya dikenal dunia sebagai model kerukunan hidup beragama, di negara yang para ulamanya sering berteriak keras, meyakinkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian.

Kebhinnekaan tersungkur ketika massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang menuju silang Tugu Monas, Jakarta Pusat, hari Minggu (1/6/2008) untuk memperingati hari kelahiran Pancasila dan menyuarakan kebebasan beragama/berkeyakinan diserbu oleh massa beratribut Komando Laskar Islam (KLI)/Front Pembela Islam (FPI). Massa tersebut menyerang dan melakukan penganiayaan serta perusakan terhadap massa AKKBB. Sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak.

Dalam kejadian ini, FPI sekali lagi telah mempertontonkan wajah Islam yang ”garang”. Sikap polisi patut disayangkan karena tidak mencegah dan mengatasi aksi kekerasan tersebut, bahkan menyalahkan AKKBB karena tidak melakukan koordinasi dengan Polri.

Ketua MUI Amidhan seperti ingin bersikap netral dalam peristiwa ini dengan menyayangkan (bukan memprotes atau mengutuk) aksi KLI/FPI, tetapi pada sisi lain menyalahkan pihak AKKBB yang dikatakan melakukan provokasi terhadap KLI/FPI karena di dalam massa tersebut terdapat pengikut Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat oleh MUI. Pernyataan yang sepintas netral tersebut, jika dicermati, cenderung lebih membela KLI/FPI. Dengan tuduhan provokasi, secara implisit Amidhan mau menegaskan bahwa KLI/FPI adalah institusi suci yang tidak boleh diprovokasi, dan karena itu kekerasan yang mereka lakukan (meskipun disayangkan) dapat dimaklumi, lepas dari persoalan apakah klaim provokasi tersebut masuk akal.

Bangsa majemuk

Sesuatu hal yang perlu menjadi keprihatinan kita bersama sebagai sebuah bangsa majemuk adalah kecenderungan maraknya cara-cara kekerasan atas nama Islam dalam menyikapi perbedaan. Sebagai seorang Muslim, saya mencoba bertanya kepada hati nurani saya sendiri, inikah sejatinya Islam? Jika hati saya membisikkan jawaban ”ya”, saya harus merasa malu untuk mengatakan bahwa agama saya adalah agama perdamaian dan malu pula untuk memprotes Amerika dan Israel ketika mereka melakukan teror di tanah Palestina atau Irak. Jika hati kecil saya menjawab ”bukan”, saya harus malu terhadap ulah saudara saya seagama dan merasa citra agama saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.

Umat Islam mempunyai kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan. Tokoh-tokoh Islam pencetus Piagam Jakarta dengan lapang dada mau menanggalkan 7 kata ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam menyusun Pembukaan UUD 1945 dan menerima Pancasila sebagai dasar negara sebagai bentuk pengakuan mereka terhadap prinsip-prinsip pluralisme yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ini berarti, umat Islam-lah yang paling berkepentingan terhadap terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Umat Islam pula yang seharusnya paling marah ketika KLI/FPI atas nama Islam memorakporandakan komitmen nasional bangsa Indonesia dengan anarkisme yang mereka pertontonkan kepada publik pada hari sakralnya bangsa dan negara ini. Keberadaan FPI tidak mengharumkan, tetapi justru merusak citra Islam.

Ketika AS dan Israel melakukan teror di kawasan Timur Tengah, umat Islam dunia menghujat kedua negara tersebut dengan menggunakan dalil kemerdekaan, kebebasan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Ketika Osama bin Laden menjawab hegemoni Amerika dengan menghancurkan menara WTC di New York, tokoh-tokoh Islam moderat sibuk meyakinkan dunia bahwa aksi Osama tidak mencerminkan Islam karena Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama perdamaian. Hal yang sama juga dilakukan ketika kelompok Azahari melakukan teror di beberapa kota di Indonesia.

Lalu, bagaimana saat ini umat Islam Indonesia dapat meyakinkan dunia ketika KLI/FPI yang atas nama Islam melakukan perusakan dan penganiayaan terhadap massa AKKBB yang tengah melakukan aksi damai tersebut? Jika pun mereka tidak setuju, apakah mereka punya otoritas untuk mewakili Tuhan atau negara menghakimi sesama warga negara? Apakah dengan peristiwa seperti ini kita masih punya alasan untuk meyakinkan dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian?

Agama egaliter

Saya jadi ingat ketika tokoh feminis Muslim Kanada, Irsyad Manji, ceramah dalam satu seminar di Kampus UGM. Manji menegaskan pentingnya kemerdekaan berijtihad untuk memajukan Islam. Terhadap pernyataan tersebut, seorang ibu yang mengaku anggota Hizbut Tahrir merespons dengan mengatakan bahwa Irsyad Manji tidak punya otoritas untuk berijtihad karena dia bukan ulama. Hanya ulama yang benar-benar menguasai ilmu agama yang mempunyai otoritas tersebut. Ia lalu membuat analogi dokter gigi. Orang sakit gigi hanya akan mendapatkan pertolongan yang benar jika datang ke dokter gigi. Orang awam tidak bisa mencabut gigi yang sakit karena akibatnya bisa fatal.

Terhadap perumpamaan tersebut, saya yang ketika itu menjadi pembahas presentasi Manji menjawab. Analogi tersebut secara implisit mengatakan bahwa Islam adalah agama yang elitis, di mana fatwa ulama harus diikuti secara taqlid (patuh) oleh pengikutnya, padahal Islam adalah agama yang egaliter. Kedua, dokter belum tentu membuat diagnosis yang tepat atau penanganan medis yang benar.

Nah, ulama dapat juga membuat fatwa keliru dengan menyesatkan aliran tertentu yang berbeda dengan keyakinannya atau memerintahkan umatnya melakukan perusakan, penganiayaan, atau pembunuhan terhadap orang atau kelompok lain yang mempunyai keyakinan yang berbeda.

Muhadjir Darwin Guru Besar Fisipol UGM, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM