Friday, October 8, 2010

DUA KALI KE JOGJA, DUBES PERANCIS PIERRE ALAIN MIGNON KEMBANGKAN HUBUNGAN PARIWISATA-BUDAYA-EKONOMI

”Jogja terkenal di Perancis. Peran Sultan sebagai tokoh politik dan budaya, saya kagum secara personal kepada Sultan”, kata Dubes Perancis Pierre Alain Mignon mengawali diskusi hangat di Gedhong Wilis, Kamis (22/7/2010).

Sudah dua kali Dubes Perancis Pierre Alain Mignon menemui Gubernur DIY Hamengku Buwono X di Kepatihan, Yogyakarta. Kedatangannya kali itu, juga untuk menghadiri HUT ke-35 Lembaga Indonesia Perancis (LIP) dan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan pariwisata Perancis - DIY.

Kunjungannya difasilitasi oleh Garuda Indonesia, melalui program kunjungan ke beberapa provinsi, termasuk DIY. Garuda baru saja menandatangani kontrak pengadaan 10 buah pesawat Air Bus, yang diproduksi di Perancis. Program tersebut, kata Pierre Alain Mignon, merupakan cara yang bagus untuk mempromosikan pariwisata Jogja, dan untuk menjaga hubungan baik yang telah terjalin selama ini.

Sebelum menemui Sultan, Pierre Alain Mignon sudah mengunjungi Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata AMPTA, Kraton, menyaksikan tarian tradisional Yogya.

Kepada tamunya, Sultan berharap agar LIP dapat meningkatkan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi DIY. Paling sedikit, harap Sultan, bagaimana masyarakat Jogja bisa mendapatkan informasi yang lebih luas tentang Perancis, termasuk mensosialisasikan kepada mahasiswa yang ingin belajar di Perancis.

Sultan juga mengharapkan LIP dapat memberikan informasi, melalui film-film ilmu pengetahuan, modernisasi alat-alat tehnologi pertanian di Perancis. ”Tujuannya untuk membuka dialog dengan masyarakat tentang perkembangan teknologi dan mendorong sektor tersebut mewujudkan modernisasi”, jelas Sultan.

UNDANG PENGUSAHA INDONESIA PAMERAN DI PERANCIS

Sebagai Dubes Eropa untuk Indonesia, Pierre Alain Mignon ditugasi untuk mempererat kualitas hubungan Eropa-Indonesia. Untuk meningkatkan kerjasama ekonomi, maka dalam kunjungannya Duber Perancis Pierre Alain Mignon, juga mengajak Ketua KADIN Perancis untuk Indonesia M. Philipe Zeller.

Philipe Zeller mengemukakan bahwa ia mempunyai tugas untuk menjelaskan perkembangan ekonomi Perancis di Indonesia. Ia juga mempromosikan pariwisata dan peran Perancis sebagai pintu masuk ke Eropa. Philipe Zeller mengatakan sudah mengunjungi dan mengadakan dialog dengan Gubernur di beberapa provinsi, untuk melihat potensi yang dapat dikembangkan bersama dengan Perancis.

Dalam kesempatan itu ia mengundang DIY untuk ikut serta dalam Pameran Tunggal Indonesia di Perancis pada April 2011.

”Melalui pameran tersebut dimaksudkan agar orang Perancis bisa lihat produk komoditas Indonesia. Supaya image berubah, dan banyak investasi Perancis di sini”, ungkap Philipe Zeller.

Sultan menyambut baik tawaran KADIN Perancis untuk meningkatkan kerjasama investasi dengan DIY. Untuk itu dipersilahkan untuk membicarakan hal tersebut lebih detail dengan instansi teknis.

” Kalau ada pengusaha Perancis bisa investasi di DIY, kami bisa fasilitasi. Infrastruktur, IT tidak masalah. Di sini kondisinya relatif aman, tidak ada instabilitas atau demontrasi buruh”, jelas Sultan. Sultan juga menjelaskan pembangunan Inlad Port untuk mempermudah ekspor impor dari Yogya. Walaupun harus melalui Semarang, namun diusahakan ada kemudahan, sehingga pengurusan ekspor dapat diselesaikan di Yogya, tidak perlu sampai Semarang.

TIM MEDIS PERANCIS, TERAKHIR TINGGALKAN JOGJA

Kepada tamunya, Sultan yang pernah tinggal selama 2 minggu di Rivera, Perancis, ketika pada acara Festival Film Cannes, secara khusus juga menyampaikan terima kasih atas bantuan Perancis selama penanganan gempa di DIY 4 tahun yang lalu. Termasuk bantuan Crisis Center yang akan diresmikan pada Oktober 2010 nanti.

”Perancis telah membangun tempat pengobatan di Alun-alun Utara. Dan Tim Kesehatan Perancis tersebut yang terakhir meninggalkan Jogja”, kata Sultan.

Masih terkait dengan penanganan gempa, Sultan mengucapkan terima kasih atas bantuan Crisis Center yang direncanakan akan diresmikan operasionalnya pada bulan Oktober 2010. Lembaga yang didukung dengan peralatan canggih tersebut, berfungsi melaksanakan pengendalian secara terpadu dalam pencegahan dan penanganan bencana di Provinsi DIY.

Bale Woro, Agustus 2010

Biarpun Bergelar Sayidin Panatagama Khalifatullah, Sultan Tetap Pluralis

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mjendapat kehormatan kunjungan Peserta Mancanegara PPRA XLV Lemhanas RI adakan kunjungan ke Provinsi DIY. Rombongan dipimpin oleh Prof. Dr. Sudaryono, SU dan terdiri dari Laksma AL Dato Pahlawan Syed Zahiruddin Bin Syed Osman (Malaysia), Brigjen AD Hussein Rashed Awwad Alabbass (Yordania), Kolonel Udara Hamsani Bin Abdul Hamid (Brunei Darusalam), Kolonel AD Bouzid Djamel (Aljazair), serta Kolonel AD Seangaroon Amomthawonsakul (Thailand).

Dalam perftemuan di Gedhong Wilis, Selasa (28/9/2010), tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan berbagai hal terkait dengan budaya, tradisi dan filosofi. Baik ditinjau dari sosial budaya maupun kepemimpinan. Mereka memang ingin mengenal lebih dekat budaya lokal ke DIY, serta memperoleh gambaran tentang potensi sosial budaya DIY dalam peningkatan hubungan sosial budaya antar warga Negara, maupun antar Negara, serta memperoleh manfaat dari obyek-obyek yang dikunjungi.

Sultan mengawali uraiannya dengan menjelaskan proses perkembangan peradaban di Yogyakarta, dimana Dinasti Mataram mengalami 4 periode sejarah yaitu pertama, Mataram Kuno pada abad 7 yang menghasilkan Borobudur sebagai symbol peradaban Budhis; kedua, Mataram Hindu, abad 9 yang menghasilkan Candi Prambanan sebagai peradaban Hindu; ketiga, Mataram Islam, awal 14 akhir,diawali dengan berakhirnya kejayaan Kerajaan Majapahit, hingga kemudian kerajaan berpindah ke Demak, dan akhirnya ada di Surakarta dan Yogyakarta.

“ Pada waktu bangun Yogya, Hamengku Buwono I menggunakan planologi kota dengan filosofi yang tetap dipegang teguh hingga kini”, ungkap Sultan.

HB I menciptakan poros (sumbu) filosofi Gunung Merapi – Tugu Pal Putih (Tugu Golong-Gilig) – Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan. Poros Kraton – Tugu Pal Putih - Merapi, lanjut Sultan, secara simbolis melambangkan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablunmin Allah). Sedang Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan melambangkan hubungan manusia dengan manusia (Hablun min Annas).

Atas dasar filosofi itu, maka Sultan yang bertahta mempunyai kewajiban menghantarkan setiap orang atau umat, dilambangkan Kraton ke Utara, agar mencapai keimanan dan ketaqwaan. Sedang Kraton ke Selatan melambangkan bahwa rakyat dan pemimpin harus menjadi satu, atau Manunggaling Kawula Gusti.

“Kalau umat tidak taqwa, berarti hanya berhenti sampai Pasar Beringharjo, simbol aspirasi manusia yang mementingkan kehidupan duniawi. Atau hanya sampai di Kepatihan, yang melambangkan aspek duniawi, atau kekuasaan”, tandas Sultan.

“Sedang Kraton ke Selatan, melambangkan rakyat dan pemimpin jadi satu. Apa artinya rakyat, kalau tidak ada pemimpin. Apa artinya pemimpin kalau tanpa rakyat. Sehingga Sultan harus bicara benar, berbuat benar dan berpikir benar”, ungkap Sultan.

Terus Dorong Dialog Antar Agama

Berkaitan dengan gelar yang dimiliki, Sayidin Pantagama Khalifatullah, Sultan mengatakan, biarpun bergelar Islami, Sultan tetap memegang teguh pluralitas, tidak membedakan suku, agama atau ras.

Prinsip tersebut yang terus membuat Sultan mendorong terjadinya dialog antar agama di Yogyakarta. Dalam konteks pemerintahan, rekruitmen dan penempatan pejabat juga tidak membedakan latar belakang etnis dan agama. Pemuka masyarakat dan tokoh agama di Yogyakarta juga berasal dari berbagai latar belakang agama dan etnis.

“Dialog antar peradaban, di Yogya, dialog interfaith menjadi kekuatan yang sangat signifikan”, tandas Sultan.

Berbagai agenda dialog antar agama terus diselenggarakan di Yogyakarta. Misalnya dialog Tim Akademis dengan Jerman membahas pluralitas agama. Dalam waktu dekat Yogyakarta juga akan menerima Tim Dialog Antar Agama dari Italia dan Spanyol.

Filosofi Hamemayu Hayuning Bawono

Berkaitan dengan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana, Sultan menyampaikan, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Sehingga punya kewajiban mengagungkan asma Allah. Untuk itu manusia harus bisa bersatu dengan alam.

“ Karena bumi memberi harapan manusia untuk hidup, bukan untuk dikuasai demi kemakmuran manusia”, tandas Sultan.

Berkaitan dengan itu ada 3 kriteria yang harus diperhatikan, yaitu pertama, keselamatan dunia – alam akan tetap utuh kalau didasari keraifan manusia; kedua, sifat-sifat keutamaan manusia – disiplin, kejujuran, profesionalisme, integritas - yang memungkinkan tetap utuhnya bangsa dan negara; dan ketiga, keselamatan manusia hanya dimungkinkan oleh karena rasa kemanusiaannya.

“Dari 3 hal itu, setiap manusia berpegang pada 2 rasa, yaitu rasa kemanusiaan dan rasa ketuhanan”, ungkap Sultan.

Dan berkaitan dengan masyarakat, lanjut Sultan, maka yang harus dibangun ada 2 hal yaitu dibangun kebersamaan – dimana gotong royong jadi kekuatan, dan disiplin jadi motivasi masyarakat, baik yang termasuk golongan miskin, menengah atau kaya, agar membangun kebersamaan, tanpa sekat sehingga potensi bisa ditumbuhkan, tanpa timbul kecemburuan.

“Pengalaman gempa bumi 2006 menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut, kearifan lokal tersebut, masih terus terpelihara dan menjadi kekuatan masyarakat”, ungkap Sultan sambil menjelaskan bahwa karena gotong royong dan kebersamaan, maka dalam waktu 2 tahun masyarakat bisa menyelesaikan pembangunan 170 ribu rumah.

Dalam kesempatan itu Sultan juga menyampaikan tema yang diangkat ketika memotivasi masyarakat untuk bangkit kembali setelah terkena gempa, yaitu “ Kehilangan harta benda, sama dengan tidak kehilangan apapun. Kehilangan nyawa sama dengan kehilangan setengah, dan kehilangan martabat seseorang,sama dengan kehilangan segalanya”.

Tema tersebut ternyata menjadi kekuatan, tidak saja untuk bangkit dari keterpurukan akibat gempa, namun juga untuk membangun integritas masyarakat. Selain itu karena aspek spiritualitas masih dipelihara oleh masyarakat Yogya, sehingga pembangunan paska gempa berjalan dengan aman, dan di Yogya juga tidak terjadi konflik antar agama atau antar etnis.

“Hal tersebut sangat penting dalam pembangunan masyarakat, sehingga Yogya tetap punya identitas”, ujar Sultan.

Modernisasi vs Westernisasi, Perlunya Rekayasa Sosial

Pemimpin mempunyai kewajiban untuk men-engeneering masyarakat agar tidak terjadi bias antara modernisasi dan westernisasi.

“Misalnya, Mac-Donald, Kentucky Fried Chicken, sering diidentikan dengan modernisasi, padahal sebenarnya merupakan produk food westernisasi”, kata Sultan.

Modernisasi adalah bagaimana masayarakat berubah dari berbagai ciri-ciri kultur agraris, seperti pasif, tunggu perintah, kurang inisiatif, agar mengalamai transformasi yang sesuai dengan tuntutan era industri, seperti masyarakat yan g aktif, kreatif, efisien, tidak tunggu perintah, dst.

“Tugas pemimpin adalah bagaimana bisa merekayasa masyarakat, untuk secara bertahap melakukan perubahan sosial”, tandas Sultan.

Sultan memberi contoh tentang kondisi petani di DIY yang tanahnya relatif sempit. Dengan kondisi tersebut petani tidak akan sejahtera tanpa memberi value teknologi dalam usaha pertaniannya, agar produktifitas meningkat dan bisa kompetitif. Untuk itu diperkenalkan benih unggul dan alat pertanian modern. Dalam konteks itu diperlukan perubahan perilaku, atau transformasi agar petani memiliki kesejahteraan yang lebih baik.

Contoh lain, menurut Sultan, petani menanam pohon ubi. Kalau bicara industrialisasi, maka ubi akan diolah menjadi tepung untuk roti. Konsekuensinya, dalam menaman ubi tidak lagi bisa kapan saja, namun harus terjadwal dan tepat waktu karena harus memenuhi kebutuhan industri.

Tanpa dilakukan engeneering, masyarakat tidak bisa mengikuti proses industrialisasi, karena diperlukan persyaratan-persyaratan kualitatif. Tanpa rekayasa, masyarakat tidak akan bisa jadi subyek industrialisasi, namun hanya menjadi obyek industrialisasi.

“Akibatnya akan terjadi kecemburuan sosial, serta timbul ketidak percayaan masyarakat terhadap proses yang ada”, tandas Sultan. Untuk itu pemimpin harus sering melakukan dialog dengan masyarakat untuk mendorong transformasi budaya.

Implementasi di Lingkungan Pemerintah Daerah

Filosofi tersebut juga harus diaplikasikan di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY dalam membangun masa depan Yogya, termasuk dalam proses pembangunan manusia Yogya masa depan. Harus dibangun budaya birokrasi yang berorientasi kepada kualitas pelayanan kepada publik.

“Birokrat harus bangga bekerja menjadi pegawai dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. PNS harus mempunyai rasa disiplin, kejujuran, inovasi, integritas, dan seterusnya. PNS harus menjadi abdi masyarakat, bukan penguasa”, tegas Sultan.

Dalam konteks APBD, maka penggunaan anggaran harus memberi manfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat mendapatkan manfaat dalam pengelolaan APBD.

Bale Woro, September 2010

Thursday, February 11, 2010

Perawat Profesional Berstandar Internasional, Agar Bisa Menembus Negara Lain

KEPATIHAN, YOGYAKARTA - Peningkatan profesionalisme perawat dan kemungkinan pengembangan rumah sakit anak menjadi topik pembicaraan antara Gubernur DIY Hamengku Buwono X dengan Dr. David Marsh dan Claire Marsh pada pertemuan yang diadakan di Gedhong Wilis, Kepatihan, Yogyakarta, Senin (8/2/2010). Nampaknya ada pula kesamaan isu yang didiskusikan, yaitu sulitnya perawat Indonesia untuk bekerja di negara-negara lain. Kendalanya, antara lain ketiadaan lembaga yang bisa memberi sertifikasi perawat yang diakui internasional..

Perkembangan lembaga pendidikan keperawatan di tanah air disatu sisi membuat Indonesia mampu memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar. Namun demikian lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Akibatnya kita tertinggal dari negara-negara Asia. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.

Dr. David Marsh menemui Sultan, salah satunya adalah untuk menawarkan solusi peningkatan profesionalisme perawat agar bersertifikat dan berstandar internasional. Tawaran tersebut tidak lepas dari pengalaman Marsh Foundation yang dipimpinnya, ketika memberikan bantuan obat-obatan dan tenaga medis pada waktu terjadi bencana Tsunami di Aceh dan gempa bumi di DIY beberapa tahun lalu. Jasa itu pula yang membuat Dr. David Marsh memperoleh penghargaan Satya Lencana Ksatria Bhakti Husada Aditya dari Pemerintah Republik Indonesia. Mars Foundation yang berkedudukan di Melbourne, Australia, juga mengelola rumah sakit dan lembaga-lembaga pendidikan di Australia dan di beberapa negara.

Menurud, Dr. David Marsh, Marsh Foundation yang dipimpinnya telah melaksanakan kerja sama dengan beberapa negara untuk melaksanakan pelatihan dan peningkatan ketrampilan perawat, sehingga mereka memperoleh sertifikat yang berlaku secara internasional. Dr. David Marsh juga menyampaikan bahwa anak yang terdidik, sehat dan bahagia akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas di usia dewasanya nanti.

” Pada saat ini ada kesenjangan antara kemampuan perawat dengan dokter spesialis yang menangani pasien. Pengalaman yang saya lihat, di negara manapun perawat bisa memprediksi dan menganalisa kondisi pasien untuk keperluan pemeriksaan dokter. Di sini belum ada keberanian melakukan itu, sehingga masih tergantung dokter”, kata Sultan. Persoalan lai, menurut Sultan, perawat Indonesia belum bisa langsung bekerja di luar negeri, karena harus melalui test oleh Dewan Perawat Negara yang bersangkutan, misalnya Singapura dan Malaysia, sehingga masih harus ditraining lagi.

Permasalahan yang dikemukakan Sultan, nampaknya sejalan dengan program yang ditawarkan Marsh Foundation.

Dr. David Marsh mengemukakan melalui program yang ditawarkan maka perawat akan memperoleh pendidikan lanjutan, baik secara akademis maupun praktis sehingga perawat mempunyai kemampuan berstandar internasional, yang ditandai dengan pemberian sertifikat yang berlaku di negara-negara lain.

”Kami akan mendidik perawat agar mempunyai kemampuan lanjutan berstandar internasional, misalnya perawat yang menangani penyakit jantung, menangani gawat darurat, dll.”, kata Dr. David Marsh.

Tawaran Dr. David Mash kepada Sultan, seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan yang semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap dalam negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN (Registered Nurse) sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita.

Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Karena itu sangat diperlukan lembaga yang berwenang memberi sertifikasi dan melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Lembaga ini bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan).

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Keprihatinan tersebut dikemukakan oleh Edy Wuryanto, SKp Sekretaris Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Propinsi Jawa Tengah dan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) dalam sebuah situs internet.

Sebagai langkah konkret pembicaraan antara Gubernur dengan Dr. David Mars, disepakati kerja sama akan ditindaklanjuti dengan RS Sarjito dalam pengembangan Rumah Sakit Khusus Anak dan dengan Fakultas Kedokteran UGM dalam peningkatan profesionalisme perawat. Kerjasama tersebut dinilai paling praktis dan dapat segera dilaksanakan, karena UGM dan RS Sarjito mempunyai kapasitas untuk merealisasikan kerjasama tersebut.

Humas Pemprov DIY.

Tuesday, February 2, 2010

Dubes Jepang Kojiro Shiojiri Temui Sultan Bicara Penanganan Bencana


Laporan: Biwara Yuswantana

Sama-sama pernah mengalami bencana gempa. Sama-sama mempunyai gunung berapi yang aktif. “Kesamaan “ tersebut menjadi alasan kerjasama antara Jepang dan Indonesia, dan antara provinsi di Jepang, Kobe misalnya, dengan Provinsi DIY. Kesamaan itu pula yang membuat pembicaran antara Dubes Jepang Kojiro Shiojiri dan Sultan mengalir, menarik dan substansial, ketika keduanya bertemu di Gedhong Willis, Kepatihan, Yogyakarta, Jum,at (13/11/09).

Kepada Sultan, Khojiro Shiojiri mengungkapkan, gempa di Kobe, 10 tahun lalu merupakan pengalaman penting bagi Jepang. Rupanya Jepang tidak menyia-nyiakan pengalaman tersebut sebagai sebuah pembelajaran. Banyak langkah penting dan mendasar ditetapkan oleh Pemerintah Jepang paska gempa Kobe. Pemerintah menerapkan kebijakan baru untuk antisipasi gempa. Bangunan-bangunan baru harus lolos pemeriksaan sebagai bangunan tahan gempa.

Pemerintah Daerah dan LSM juga meningkatkan kerja sama melakukan pengawasan terhadap bangunan-bangunan baru agar mematuhi persyaratan bangunan tahan gempa. Prioritas juga dilakukan. Bangunan-bangunan seperti rumah sakit dan sekolah diawasi dengan ketat pembangunannya, dan diterapkan standar bangunan yang paling tahan gempa. Keputusan itu tidak salah, karena tempat-tempat tersebut akan berfungsi sebagai tempat merawat korban gempa dan tempat pengungsian, apabila terjadi gempa. Dan sekolah, adalah tempat anak-anak, generasi muda belajar. Mengamankan mereka, berarti mengamankan masa depan.

“ Bangunan-bangunan yang paling tahan gempa adalah rumah sakit dan sekolah, karena gedung tersebut untuk merawat korban gempa dan tempat pengungsian apabila terjadi gempa”, kata Kojiro Shiojiri.

DIY memang belum punya pengalaman menangani gempa 8 SR seperti yang terjadi di Kobe, Jepang, 10 tahun lalu. Pengakuan itu juga disampaikan Sultan kepada tamunya. Didorong keinginan kuat untuk melindungi warga masyarakat DIY dari dampak gempa, Sultan pun menyatakan ingin mengetahui lebih jauh bentuk-bentuk dan rumusan kebijakan yang diambil Jepang, baik di tingkat Pemerintah Pusat, Provinsi atau Kabupaten.

Sultan menginginkan ada kerjasama dengan JICA untuk mengirim tenaga ahli ke Indonesia, untuk memberikan informasi kebijakan yang ditetapkan, bentuk institusi, serta standardisasi yang ditetapkan untuk mengantisipasi gempa. Menurut Sultan, konsultan arsitek punya peran penting dalam merancang bangunan agar memenuhi standar tahan gempa. Untuk itu diperlukan ketentuan rinci, misalnya konstruksi bagaimana, materialnya seperti apa, sehingga Pemerintah bisa mengontrol. Masih seputar arsitektur bangunan tahan gempa, kepada Kojiro Shiojiri, Sultan mempertanyakan kemungkinan JICA bisa membantu mengkaji bangunan berasitektur Jawa, namun mempunyai konstruksi yang tidak membahayakan bagi penghuninya apabila terjadi gempa.

“ Bagaimana konsultan arsitektur dalam membuat rancangan bangunan bisa penuhi standar tahan gempa. Materialnya apa, kita bisa kontrol. Kami belum punya pengalaman”, kata Sultan.

Di tengah pembicaraan, Sultan juga mengungkapkan harapannya untuk menemukan material yang lebih kuat dan lebih baik sehingga bangunan rumah tidak membahayakan penghuninya dan tahan gempa. Beberapa kemungkinan disampaikan. Atap, misalnya, penggunaan genteng seperti yang selama ini dilakukan, mempunyai beban yang berat. Perlu dicari alteratif atap yang ringan, tidak memberatkan bangunan rumah, sehingga lebih aman. Di sisi lain penggunaan konstruksi aluminium yang lebih ringan, seperti banyak digunakan oleh lembaga donor dalam rehabilitas dan rekonstruksi, masih perlu diteliti kekuatannya bila gempa terjadi.

” Kalau terjadi gempa patah atau tidak, membahayakan penghuninya tidak ?”, ungkap Sultan.

Banyak ide dikemukakan Sultan, yang perlu ditindaklanjuti dengan penelitian. Misalnya penelitian untuk menemukan bahan untuk dinding, seperti partikel board, yang ringan tapi kuat, tahan hujan dan panas, serta tidak berbahaya bagi penghuni. Begitu pula material pengganti batu bata, mungkin dari ampas tebu, abu, atau bahan lainnya, sehingga menjadi material yang ringan namun kuat.

Sultan juga mengemukakan peran yang diharapkan dari Pusat Informasi Bangunan dan Gempa yang sedang dibangun. Institusi ini diharapkan bisa menampilkan produk-produk material bahan bangunan yang tahan gempa, sehingga masyarakat bisa memilih alternatif bahan yang tahan gempa namun terjangkau dari segi pembiayaan.

Apresiasi Kaisar Jepang

“ Kaisar Jepang sangat menghargai upaya Sultan dalam penanganan gempa Jogja, dan kami juga melaporkan ke Kaisar bahwa sekarang kondisinya sudah pulih”, kata Kojiro Shiojiri kepada Sultan. Apresisasi tersebut nenunjukkan perhatian Jepang terhadap penanganan gempa DIY.

Pada saat itu Jepang memberikan banyak bantuan ke DIY. Tidak saja berupa bahan-bahan kebutuhan masyarakat, namun juga mendirikan Rumah Sakit untuk merawat korban gempa.

Dubes Jepang rupanya juga mengkuti kegiatan Sultan membantu korban gempa di Sumatera Barat, dan dalam kesempatan bertemu Sultan menyampaikan rasa terharunya dengan kegiatan Sultan di Sumatera Barat.

Pemerintah Jepang mendukung kalau Yogyakarta akan menjadi Pusat Studi Gempa di Indonesia. Proses kearah itu terus diupayakan. Misalnya, beberapa tenaga ahli Jepang berada di Yogyakarta untuk mempelajari gempa DIY , 3 tahun lalu, tepatnya 27 Mei 2006, dan berbagai dampak yang ditimbulkannya.

Liu Qi dan Sultan, Menggiatkan Kembali Hubungan Kebudayaan Tiongkok-DIY

Oleh: Biwara Yuswantana

Bakpia dan bakso, sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Bakpia Patuk, bahkan telah menjadi oleh-oleh khas Kota Yogya. Bakso sangat mudah ditemui, tidak saja di berbagai sudut kota, tetapi sampai di pelosok-pelosok desa.

Hubungan China-Indonesia mempunyai sejarah panjang. Penyebar agama Islam di tanah Jawa, yang berjumlah 9 orang (Walisongo), sebagian merupakan tokoh Islam China yang masuk lewat Surabaya. Begitu pula dengan Kapten Tjeng Ho yang mendarat di Semarang. Perdagangan Tiongkok-Yogyakarta sudah ada sejak abad 9 M.

Peningkatan hubungan dan dialog budaya antara masyarakat DIY dan China, menjadi topik pembicaraan Sultan dengan Liu Qi Wakil Walikota Beijing dan Ketua Communist Party of China (CPC) Komite Kota Bejing ketika keduanya bertemu di Gedhong Willis, Kepatihan, Yogyakarta, Senin (30/11/09).

Dalam kunjungannya Liu Qi didampingi pejabat-pejabat dari Kota Beijing dan Kedutaan Besar China di Jakarta. Bahkan jumlahnya cukup besar untuk, 20 orang.

“Harapan saya, jauh sebelum Indonesia ada, sekitar abad 9-10, hubungan China-Indonesia sudah ada. Sudah terjadi dialog budaya, sehingga hal itu bisa dikembangkan lagi”, kata Sultan. Karena Yogya merupakan Kota Pendidikan dan Budaya, lanjut Sultan, apa mungkin China membuka lembaga kebudayaan di Yogyakarta. Melalui lembaga tersebut China bisa menampilkan informasi dan kebudayaan China, melaksanakan pertukaran misi kesenian dan budaya, atau menyelenggarakan studi bahasa China.

Kalau Lembaga Kebudayaan China bisa berdiri di Yogyakarta, akan semakin memperbanyak jumlah pusat-pusat kebudayaan Negara lain di Yogyakarta. Kepada tamunya Sultan menyampaikan, saat ini sudah beberapa negara membuka lembaga kebudayaan di Yogyakarta, seperti Jepang, Korea, Perancis, Belanda, dll. Melalui lembaga tersebut dapat diinformasikan kebudayaan, sejarah dan seni-budaya China. Begitu pula bisa dilakukan tukar menukar misi kesenian dan tempat studi tentang China.

“Yang penting masyarakat Yogyakarta punya kesempatan mengetahui dan membangun dialog budaya dengan lembaga yang ada”, jelas Sultan mengenai latar belakang perlunya pendirian Lembaga Kebudayaan China.

Kerjasama dengan provinsi-provinsi di luar negeri sudah banyak dilakukan, dalam bentuk Sister Province. Sultan berharap kerjasama serupa juga bisa dikembangkan dengan China. Sultan juga mendorong kemungkinan dibangunnya hubungan Sister-City antara Kota Yogyakarta dengan kota-kota di RRC. Tawaran ini disambut baik oleh Liu Qi, yang akan mencari kota-kota yang cocok bekerja sama dengan Yogyakarta.

Pariwisata juga menjadi bahan pembicaraan kedua tokoh. Liu Qi mendukung peningkatan kerjasama pariwisata. Liu Qi mengagumi keajaiban dunia yang terdapat di Provinsi DIY dan Jawa Tengah, yaitu Borobudur dan Prambanan. Obyek wisata tersebut menjadi daya tarik wisatawan China untuk berkunjung. China, memiliki 5 obyek wisata yang menjadi warisan budaya dunia. Obyek wisata tersebut mampu menyedot sekitar 8 juta wisatawan untuk mengunjungi Cina, setiap tahunnya.

Liu Qi, yang juga menjabat Anggota Polibiro Partai Komunis China, siap membantu memperkenalkan kekayaan wisata dan budaya Yogyakarta kepada masyarakat Cina. Ia menyebut Yogyakarta merupakan Kota yang bagus, suku-suku bangsa bisa hidup rukun, Kota Budaya dan Sejarah. yang juga menjabat Anggota Polibiro Partai Komunis China Namun ia menyebut pentingnya pembangunan infrastruktur ke depan untuk mendukung pengembangan kepariwisataan. Bandara yang lebih memadai dan jalan-jalan yang bagus, akan menarik lebih banyak wisatawan Tiongkok untuk berkunjung ke DIY.

Pemikiran Liu Qi ternyata sejalan dengan Sultan. Bahkan Sultan sudah melangkah. Pendekatan dengan Haian Air sudah dirintis, untuk membuka penerbangan langsung RRC – Jogja. Perpanjangan landasan Bandara Internasional Adisucipto juga sudah dikerjakan, tahun 2011 diharapkan selesai.

Tahun depan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia sudah menginjak 60 tahun. Dalam peringatan tersebut, RRC akan mengirim Tim Kebudayaan yang akan mengadakan pertunjukkan di beberapa kota Indonesia. Sultanpun menyambut baik, kalau Tim Kebudayaan RRC bisa tinggal dan mengadakan pentas kebudayaan di Yogyakarta.

Sultan: Perlu Dirubah, Persepsi Islam Identik Timur Tengah

DIY potensial menjadi pusat pengembangan dialog interfaith. Hal itu disebabkan karena masyarakat DIY yang toleran dan mengedepankan harmoni dalam berhubungan dengan sesama, melalui dialog budaya antar umat beragama, sehingga kondisi daerah tetap aman. Ke depan Provinsi DIY bisa menjadi tempat Sekretariat Dialog Interfaith.

Hal itu diungkapkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, ketika menerima kunjungan Sembilan calon Duta Besar dan dua calon Konsul Jenderal Indonesia untuk kawasan Amerika, Amerika Latin, Eropa, Timur Tengah, Asia, Asia Timur, dan Afrika (Thosari Wijaya, Joko Susilo, dll), pada Jum’at, 20 November 2009, di Gedhong Wilis, Kepatihan, Yogyakarta.
:
Gubernur berharap duta besar di Mesir, Maroko, Tunisia, serta negara-negara Afrika Utara atau Mediterania bisa mendorong negara-negara tersebut untuk membuka lembaga kebudayaan Islam di Yogyakarta. Dengan lembaga tersebut, diharapkan bisa memberi pencerahan kepada masyarakat melalui penyediaan perpustakaan, kesenian dan program-program kebudayaan untuk mengubah persepsi bahwa Islam identik dengan Timur Tengah, termasuk pandangan terhadap konflik Palestina dan Timur Tengah pada umumnya. Apabila pandangan tersebut belum bisa berubah, ekstremitas, kekerasan, serta teror akan terus terjadi. DIY juga siap menyediakan SDM untuk menjadi manajer lembaga tersebut, seperti yang selama ini dilakukan di lembaga-lembaga studi yang ada di Yogyakarta. Lembaga tersebut perlu untuk membangun dialog budaya, agar masyarakat tidak hanya bangga pada budaya sendiri, tetapi punya wawasan luas dan juga bisa mengapresiasi budaya bangsa-bangsa lain.

Indonesia, khususnya DIY mempunyai potensi sangat besar untuk mengembangkan dialog interfaith. Indonesia tidak mempunyai kendala historis, sehingga bisa mengembangkan dialog dengan Afrika, Eropa, Australia. Kalau pusat dialog interfaith bisa dibangun di Indonesia (DIY), maka hal itu akan menjadi kekuatan Indonesia dalam diplomasi luar negeri.