Monday, June 15, 2009

Televisi Pinggirkan Budaya Lokal

Masyarakat etnis sekarang semakin terpinggirkan, pada hal sebenarnya masyarakat etnis mempunyai identitas yang jelas. Bagaimana agar masyarakat etnis bisa eksis melalui teknologi informasi atau ditengah informasi global sekarang ini. Ketika saya di Jakarta dan melihat televisi, ternyata tidak ada nilai tambah untuk budaya lokal. Hal yang sama juga dirasakan ketika di Yogya. Tidak ada bedanya. Itulah kegelisahan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diungkapkan di depan Dewan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.

Dari perspektif pembangunan jati diri bangsa, kegelisahan Ngarso Dalem itu bukan sesuatu yang aneh. Dari semua media massa, televisi merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat, baru kemudian disusul surat kabar dan radio (Tabrani,2003). Menurut Tabroni, pengaruh televisi terhadap pola pikir masyarakat disebabkan karena televisi memiliki kemampuan mencitpakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layar kaca menjadi lebih nyata dari realitasnya. Kekuatan dahsyat televisi melebihi media yang lain, mempengaruhi kehidupan dan emosi seseorang melalui gambar-gambar yang diperjelas dengan narasi. Makin menarik gambar yang ditampilkan, makin dalam pengaruh yang ditimbulkan. Berarti pemirsa akan lebih mengingat dan membayangkannya.

Kebudayaan merupakan sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya, dalam merespon berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Acuan itu berupa nilai-nilai, kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan. Di sisi lain nilai-nilai tersebut kemudian mewujud dalam bentuk peradaban, dimana terbangun norma-norma yang akan dijadikan tolok ukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan. Penjabaran nilai kebudayaan menjadi norma peradaban dapat dipandang sebagai pengalihan dan sesuatu yang transenden menjadi sesuatu yang immanen.


Pasang-surutnya kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh sejauh mana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka acuan untuk dijabarkan melalui sesuatu tatanan normatif. Dalam era kontemporer ini, suatu kebudayaan sebagai sistem nilai dapat dengan mudah didesak oleh sistem nilai baru, sehingga kebudayaan yang lama kehilangan dayanya sebagai acuan untuk menjabarkan norma-norma perilaku. Pada titik ekstrem, menurut Bungin (2005), pengaruh televisi dan membawa masyarakat kearah kehancuran moral dan pandangannya. Terlihat bahwa televisi dapat mempengaruhi perilaku, sikap dan bergerak kearah penghancuran pandangan, moral, persepsi, kepribadian dan budaya umat manusia.

Budaya mempunyai karakter dinamis dan berkembang dalam diri masyarakat. Karena proses yang bersifat inheren tersebut maka bisa saja terjadi suatu saat kita akan terkaget-kaget dengan apa yang terjadi. Dan budaya itu tidak akan mudah, untuk tidak mengatakan mustahil, diputar kembali agar kembali pada kondisi semula, seperti yang diharapkan.

Arus informasi dan interaksi budaya berskala global melalui media elektronik sekarang perlu kita cermati sejauh mana signifikan pengaruhnya dalam budaya lokal. Dalam kaitan ini, pertemuan antar-budaya jangan terutama digambarkan sebagai pertemuan antara dua fihak belaka, melainkan terjadi dengan keterlibatan sejumlah fihak secara segera (instantaneous) serta serempak (simultaneous). Teknologi informasi dan komunikasi menjadi sarana mempercepat proses tersebut.

Agar tidak sekedar retorik, harapan berbagai tokoh akan lestarinya budaya lokal, harus diikuti dengan upaya nyata memberi ruang dan media bagi tetap berlangsungnya interaksi budaya dengan masyarakatnya. Pertemuan antar-budaya yang demikian intens, dan sering bagaikan Daud dan Goliath. Tanpa dukungan kuat dari otoritas media, maka sulit bagi budaya lokal untuk tetap bertahan. Budaya lokal atau budaya etnis akan bernasib seperti benda-benda bersejarah yang teronggok diam di museum-museum, tak ada lagi relevansinya dengan kehidupan nyata masyarakat. Budaya etnis menjadi benda mati, terasing dan tak ditemukan lagi dalam realitas.

Kehidupan budaya sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya derajat kesadaran budaya dan tanguh-rapuhnya tingkat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya. Serbuan budaya asing dan budaya global melalui media menyebabkan dominasi budaya asing dalam atmosphere budaya asli, dan lambat laun mengalami adopsi sehingga budaya asing bermertamorfose menjadi ‘model’ untuk ditiru.

Kecenderungan meniru itu, dalam kelanjutannya bisa terpantul melalui berkembangnya gaya hidup baru yang dianggap superior dibandingkan dengan gaya hidup lama. Berkembangnya gaya hidup baru itu dapat menimbulkan kondisi sosial dimana berlaku berbagai norma acuan perilaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan gaya hidup yang ditiru dan internalisasi budaya asing bisa berkelanjutan dengan timbulnya gejala keterasingan dari kebudayaan sendiri. Kondisi inilah yang sekarang sedang terjadi di tengah masyarakat kita, khususnya generasi muda.

Maraknya kegiatan entertainment, lebih-lebih didukung media massa elektronik misalnya, apakah hanya sekedar beresensikan nilai-nial rekreatif, atau justru sudah menjadi budaya baru yang derivasinya muncul dalam berbagai gaya hidup baru, seperti hilangnya nilai kesederhanaan, merosotnya etos perjuangan, merebaknya budaya instan, bahkan menguatnya hedonisme di tengah masyarakat. Kalau yang terakhir yang terjadi, maka persoalannya menjadi sangat serius, karena kontraproduktif terhadap perlunya sebuah bangsa yang bisa kompetitif dalam era global sekarang ini.

Persaingan merebut pangsa pasar antar stasiun TV, akhirnya berujung pada pilihan format program dan pola acara masing-masing stasiun. Iklan nampaknya menjadi rejim baru penguasa dunia media dan informasi abad ini. Dengan dana yang melimpah, iklan menjadi kekuatan yang mampu membuat hijau kuningnya program-program acara di televisi atau radio. Dampaknya, program acara akan tayang atau tidak, berlanjut atau tidak, tergantung pada rating dan itu tidak ada kaitannya dengan dimensi moral dan etika pada sajian televisi swasta. Apalagi sulit mengukurnya, karena sifatnya yang abstrak dan multi persepsi. Moral dan etika menjadi wilayah abu-abu bagi media, sulit untuk men-judge-nya, dan ini menjadi peluang media lebih leluasa mengeksploitasinya.

Kekhawatiran akan tergerusnya nilai-nilai budaya bangsa sangat masuk akal bila dikaitkan dengan profil pemirsa yang setia berada di depan pesawat TV. Mengacu pada data SRI (Survey Reseach Indonesia), penonton acara televisi yang paling setia di negeri ini justru pelajar, kelompok usia yang sangat rawan terhadap berbagai pengaruh itu. Menurut SRI pula, jika karyawan dan ibu rumah tangga hanya menghabiskan 2,3 hingga 2,8 jam sehari di depan pesawat televisinya, maka pelaiar menghabiskan waktunya 3,1 jam sehari di depan pesawat tersebut. Dengan waktu sebanyak itu, bisa dibayangkan seberapa besar pengaruh yang bisa diakibatkan acara-acara TV yang tidak pro budaya lokal, namun tak hentinya menampilkan adegan kekerasan (fisik dan psikhologis), gaya hidup baru yang cenderung semakin permisif dan melemahkan peranan norma dan nilai budaya lokal untuk digantikan dengan nilai baru.

Rekayasa budaya merupakan sebuah upaya yang perlu dilakukan. Persoalannya, dan ini realita yang terjadi, budaya lokal atau tradisi dan media elektronik di bawah penguasaan rejim periklanan sekarang ini, ibaratnya air dan minyak. Pada hal, seperti diuraikan didepan, media massa elektronik mampu membentuk trend setter baru melalui acara-acaranya, dan sangat besar kekuatannya dalam pembentuk budaya pop di masyarakat era sekarang. Hanya TV RI atau TV lokal yang mau menampilkan budaya etnis atau budaya lokal dalam tayangannya. TV Jogja, dengan semboyan “ Media Publik Kita”, berusaha mengangkat konten budaya lokal, melalui berbagai acaranya seperti Angkringan, Pangkur Jenggleng, Karang Tumaritis, dan lain-lain. Jogja TV berusaha mewujudkan trade mark-nya “ Tradisi Tiada Henti “, melalui berbagau acara yang dikemas dalam nuansa budaya, seperti Langen Swara, Langen Laras, Geguritan, Kawruh, Menembus Batas, dan lain-lain.

Kita perlu memberi apresiasi atas upaya mengangkat budaya lokal oleh kedua stasiun televisi tersebut. Yang masih jauh dari harapan adalah radio. Radio di daerah nampaknya larut dalam arus budaya pop. Lebih-lebih dengan adanya radio jaringan, maka frekwensi radio semakin meminggirkan konten budaya lokal. Sulit untuk menemui penyiar yang berbahasa Indonesia dengan gaya lokal, atau memberikan aksentuasi etnis dalam berdialog dengan pendengarnya. Tidak ada acara budaya lokal atau budaya etnis yang menjadi ikon penyiaran radio, kecuali beberapa radio yang masih mempertahankan acara-acara budaya, seperti yang selama ini disiarkan.

Upaya membangun budaya lokal menjadi mainstream penyiaran radio dan penayangan televisi memerlukan komitmen politik dan sekaligus kesamaan visi didalam masyarakat. Dalam bahasa yang lebih sederhana, transformasi budaya perlu dikawal, tidak bisa dibiarkan ikut mekanisme pasar. Kepekaan semua pihak terhadap fenomena-fenomena baru perlu ditumbuhkembangkan. Dan yang jauh lebih menentukan komitmen media untuk mengangkat konten budaya lokal dalam program-program yang diproduksinya. Kemasan baru mungkin perlu dilakukan, agar budaya lokal bisa diterima oleh generasi muda.

Budaya popular adalah budaya idola. Bahkan Sang Idola, tak peduli seperti apa kualitas kehidupannya, menjadi Dewa Baru bagi pemuja entertainment. Sesuatu yang sebelumnya biasa dan tidak laku akan berbeda ketika hal itu dilakukan, dipakai, dan diucapkan oleh sang idola. “Status”-nya akan berubah dengan cepat, dan dengan mudah akan diadopsi oleh para pengidolanya.

Persoalannya lain, dari perspektif hukum, apakah UU Penyiaran mampu berfungsi sebagai regulasi yang mendukung rekayasa budaya untuk memberi ruang pada tampilnya budaya etnis. Apakah UU mampu membangun komitmen penyelenggara siaran televisi di dalam negeri agar mau mengangkat budaya lokal, antara lain budaya etnis dengan identitas yang dimiliki, dalam siaran dan tayangan-tayangannya. Akhir tahun 2009, menjadi batas waktu efektifitas televisi berjaringan. Ketentuan bahwa TV Nasional harus mempunyai jeringan dengan televisi lokal, memberi harapan akan terangkatnya budaya etnis /lokal melalui layar kaca. Last but not least, komitmen pada keadiluhungan budaya sendiri (budaya lokal) menjadi kunci efektifitas ketentuan tersebut.

Kalau tidak maka pemberdayaan masyarakat menjadi strategi terakhir yang bisa diharapkan. Strategi budaya perlu disestimatisasikan melalui pendidikan dan interaksi budaya masyarakat. Harapannya, masyarakat bisa menjadi subyek atas informasi, yang mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah jenis informasi dan hiburan yang layak dikonsumsi. Itu pun tidak mudah. Pertanyaannya, apakah peran itu bisa diserahkan kepada masyarakat, karena yang terjadi adalah ketidakberdayaan. Pilih tayangan yang berkualitas, itu kampanye yang sering dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia. Dampingi anak ketika menonton televisi, itu himbauan yang lain. Pilihan itu sebenarnya sangat mudah, hanya sebatas memencet remote control, namun sangat sulit ketika budaya lain (baca: rejim iklan) sudah sangat kuat mencengkeram kesadaran pemirsa.
Drs. Biwara Yuswantana,MSi.

Sunday, March 15, 2009

Menakar Komitmen Transparansi, Ditinjau Dari Kelembagaan

Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, termasuk Pemerintah Provinsi DIY kembali disibukkan melakukan penataan kembali struktur organisasi dan kelembagaan Pemerintah Provinsi. Pemerintah Provinsi DIY, bahkan sudah memulai proses ini akhir tahun lalu, berbagai wacanapun sempat muncul di permukaan. Mulai dari adanya pendapat bahwa dengan usulan Pemprov DIY terjadi penggelembungan jumlah satuan organisasi. Rentetan selanjutnya bisa ditebak, jabatan bertambah, fasilitas yang disediakan akan lebih banyak dan muaranya pada alokasi anggaran untuk lembaga juga akan meningkat. Kontroversipun kemudian merebak. Tarik menarik antara berbagai pemikiran, mungkin juga kepentingan juga ramai di berbagai persidangan legislative.
Penataan kelembagaan memang menjadi perintah undang-undang. PP 41 tahun 2007 Pasal 51 mengamanatkan bahwa Pelaksanaan penataan organisasi perangkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. Artinya satu tahu setelah 23 Juli 2007, saat PP ini ditetapkan, pemerintah daerah harus sudah menggunakan struktur organisasi yang baru.
Peraturan Pemerintah tersebut mengatur antara lain bahwa di daerah ada lembaga teknis daerah dan dinas daerah. Lembaga Teknis Daerah, sebagaimana diatur pada Pasal 8, merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah, yang bertugas tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik. Lembaga teknis daerah dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi, antara lain perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya dan pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya.
Sedangkan Dinas Daerah, sesuai bunyi Pasal 7, merupakan unsur pelaksana otonomi daerah, mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas daerah dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, serta penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya.
Pada Pasal 22 diatur pula bahwa penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah. Sedangkan perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas, salah satunya adalah bidang perhubungan, komunikasi dan informatika. Pertanyaannya kemudian, relevankah perumpunan ini bagi seluruh daerah di Indonesia.
Semangat desentralisasi memang coba diakomodir dalam PP ini, yaitu dengan membuat scoring untuk menentukan jumlah kelembagaan yang akan dibentuk. Besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel: jumlah penduduk; luas wilayah; dan
jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Persoalannya apakah variable-variabel tersebut sudah mencerminkan kondisi daerah, tentu masih perlu dicermati. Sisi lain, yaitu content, yaitu perumpunan urusan ternyata masih kental dengan semangat penyamarataan. Paling tidak daerah kurang diberi ruang untuk melakukan perumpunan urusan, sesuai kondisi daerah. Pada hal perkembangan, cakupan dan tingkat kesulitan tiap-tiap daerah pasti berbeda. Komunikasi dan Informasi di Provinsi Papua, tentu akan berbeda pendekatan dan metodenya, serta kebijakannya, dibanding Provinsi DIY. Begitu pula dengan urusan perhubungan, misalnya.
PP no. 41/ 2007 mengamanatkan semua instansi yang mengurusi Komunikasi dan Informatika harus berbentuk dinas. Selain itu, kalau PP tersebut diterapkan sepenuhnya maka berdasarkan rumpun urusan, maka urusan komunikasi, informasi dan perhubungan dapat diwadahi dalam satu dinas, misalnya menjadi: Dinas KomInfo dan Perhubungan.
Terkait dengan masalah di atas, maka tulisan ini mencoba melempar wacana kepada publik tentang 4 (empat) hal mencakup: Kelebihan dan kekurangan menjadi Dinas, Kemungkinan bergabung dengan Perhubungan, dan Konsepsi struktur organisasi dan tata kerja Dinas KomInfo.
Saat ini fungsi komunikasi dna informasi diwadahi dalam Badan Inforasi Daerah (BID), saat ini mencakup 4 bidang, yaitu: Bidang Hubungan Masyarakat, Bidang Layanan Teknologi Informasi , Bidang Pengkajian dan Pengembangan Informasi, dan Bidang Promosi Daerah. Selain itu, BID mempunyai “unit khusus” yaitu Plaza Informasi, yang merupakan layanan informasi publik terpadu. Layanan ini bersifat operasional langsung ke masyarakat.
Sebagai suatu badan, BID bertugas juga mengusulkan kebijakan lintas instansi, misalnya terkait pengembangan e-Government dan Digital Government Services (DGS). Berbagai program dan kegiatan sudah dilaksanakan, seperti penyusunan Blueprint DGS, pengembangan layanan berbasis IT untuk bidang-bidang unggulan ( pendidikan, perdagangan) dan segera menyusul bidang ketenaga kerjaan dan pertanian. Selain itu juga mengembangkan e-govt di Provinsi DIY. Situs resmi Pemeirntah Provinsi DIY www.jogjaprov.go.id beberapa kali meraih prestasi dengan menerima Award dari Majalah Warta Ekonomi.Prestasi terbaik berupa Best of The Best e-Gov yang diterima 2006 lalu.
Apabila dibentuk dinas, maka layanan operasional dapat lebih banyak atau besar. Sebagai dinas yang menangani komunikasi dan informatika, maka kehumasan dan promosi daerah perlu ditempatkan di luar dinas ini. Tetapi sebagai dinas (yg lebih banyak sifat operasionalnya), Dinas KomInfo kehilangan tugas untuk mengusulkan kebijakan lintas instansi, maka kalau fungsi ini masih diperlukan, maka fungsi perumusan kebijakan tersebut perlu dipegang oleh Bappeda atau Asisten Sekda.

Penggabungan Kominfo dan Perhubungan
Urusan KomInfo dan Urusan Perhubungan masing-masing (di DIY) sudah berkembang meluas dan makin jauh berbeda.
Perhubungan lebih mengurusi angkutan barang dan penumpang serta lebih bersifat lapangan yang “keras” (karena mengurusi pihak-pihak yang tugasnya di lapangan yang sarat dengan benturan kepentingan, sehingga sering terjadi konflik di lapangan). Di banyak negara fungsi yang di Indonesia ditangani oleh Departemen atau Dinas Perhubungan, ditangani oleh Dinas Transportasi. Sehari-hari urusan ini berkaitan dengan angkutan jalan, terminal, trayek, kru angkutan, dll. Urusan yang khas transportasi dengan berbagai dinamika persoalannya. Kedepan urusan transportasi akan semakin berat, seiring dengan peningkatan lalu lintas, baik frekwensi, jumlah pelaku, ataupun intensitas persoalannya. Mewujudkan tuntutan public untuk menciptakan transportasi yang aman, nyaman dan efisien bukanlah tugas yang ringan. Belum lagi mendorong agae transportasi bisa mendorong mobilitas penduduk dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, terlalu berat untuk ditangani oleh setengah dinas ( kalau perhubungan dan komunikasi informasi digabung).
Sebagai misal, Situs Departemen Transportasi Amerika mencamtumkan tugas pokok dan prioritas Departemen yang sekarang dipimpin oleh Mary E Peters, sebagai US Transportation Secretary, yaitu “ The American people deserve the safest, most secure, and most efficient transportation system possible. Our top priorities at DOT are to keep the traveling public safe and secure, increase their mobility, and have our transportation system contribute to the nation's economic growth ,”
Disisi lain kominfo lebih mengurusi komunikasi, informasi dan teknologi informasi (TI), yang lebih bersifat “bekerja dari kantor” dan “lunak” karena lebih pada human resources massif. TI sendiri berkembang pesat, yang menyebabkan perbedaan dengan urusan perhubungan menjadi lebih jauh.
Urusan KomInfo mencakup e-government, dan e-gov ini telah menjadi unggulan DIY serta DIY telah menjadi barometer nasional dalam hal ini. Bila urusan Kominfo digabung dengan urusan perhubungan, maka akan sangat disayangkan bila unggulan tersebut hanya ditangani oleh “separoh” dari kekuatan sebuah dinas, sebagaimana beratnya urusan perhubungan.
Dalam waktu dekat, Jogja Cyber Province (JCP), yang didalamnya ada DGS, akan dicanangkan oleh Gubernur DIY. Akan sangat dipertanyakan bila program kerja JCP “hanya” akan dikoordinasikan oleh “separoh” dari kekuatan suatu dinas. Memilih Kepala Dinas yang tepat dan mampu mungkin juga sulit, bila perhubungan digabung dengan komunikasi dan informasi.

Konvergensi 3 C ( Computing, Communication, dan Contens)

Pada era IT sekarang ini, tiga C, yaitu Computing, Communication dan Contents telah mengalami konvergensi (saling mengisi) dan ini menjadi basis dan pengembangan komunikasi dan informasi di Prov. DIY



Visi Pemerintah Daerah Propinsi DIY yang menjadi gambaran ideal dalam Renstra pada tahun 2004 – 2008 adalah ”Mantapnya Pemerintah Daerah yang Katalistik dan Mendukung Terbentuknya Masyarakat Kompetitif ”. Pengertian masyarakat yang kompetitif adalah masyarakat yang berdaya dan mempunyai daya saing dalam bidang-bidang yang potensial mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mengarah kepada kemandirian, terutama dalam persaingan global yang sudah berlangsung saat ini, diantaranya dalam bidang pariwisata, pendidikan dan budaya.
Pengertian masyarakat yang kompetitif ini secara internal juga mengandung pengertian bahwa masyarakat DIY tetap masyarakat yang berbudaya, komunikatif, koperatif dan toleran. Visi Pemerintah Daerah ini nantinya akan menuju kepada visi pembangunan DIY yaitu terwujudnya DIY sebagai pusat pendidikan, pusat budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka pada tahun 2020.
Sebagai pelayanan publik untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kompetitif atau mandiri (masyarakat informasi), maka kemampuan “3C” harus mendukung “C yg ke 4” yaitu Community Empowerment.



Fungsi “4C” diwadahi oleh Dinas KomInfo, dan setiap “C” menjadi suatu bidang. Antar bidang saling mengisi. Konsep struktur organisasi Dinas Kominfo, yaitu Bidang Manajemen Informasi (CONTENTS), Bidang Layanan TI (COMPUTING), Bidang Pos dan Telekomunikasi (COMMUNICATION), dan Bidang Pemberdayaan Masyarakat Informasi (COMMUNITY EMPOWERMENT)
Gubernur DIY sangat serius dalam melakukan percepatan dan terobosan tranformasi layanan yang berorientasi masyarakat dengan berbasis pada proses kerja, informasi dan pengetahuan. Teknologi informasi dan komunikasipun dimanfaatkan sebagai akselerator pembangunan wilayah provinsi yang berdaya saing, nyaman, mandiri, efisien dan efektif. Di tingkat pusat pun sekarang sudah ditetapkan UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi, jadi semangatnya adalah transparansi. Namun UU tersebut ternyata tidak seirama dengan PP 41 tahun 2008, dimana perhubungan dijadikan satu rumpun dengan komunikasi dan informatika. Akibatnya daerah-daerah pun, baik provinsi/kabupaten/kota ramai-ramai menurunkan kelembagaan yang mewadahi fungsi Kehumasan dan Informasi. Sebelumnya menjadi lembaga tersendiri, baik berbentuk Dinas atau Badan, maka sekarang cukup menjadi bidang atau bagian. Mainstream keterbukaan, pemberdayaan informasi masyarakat ternyata tidak sejalan dengan implementasi di bidang kelembagaan, karena wadahnya justru dipersempit.

Tuesday, March 10, 2009

Pengelolaan Informasi dan Kehumasan

Media Massa memerlukan berita yang seimbang:
a. Berita Kritis/Iregular News
b. Berita Positif/Regular News

Pasal 3 dan 4, Pasal 6 Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999 secara detail menjelaskan peranan pers :

1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
2. menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;
3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dari Media Cetak ke Media On Line
• World Association of Newspapers (WAN), pada tahun 1995-2003 tiras surat kabar menurun: Jepang 2 %, Eropa 3 %, dan Amerika 5 %;
• The New York Times mengalami penurunan pendapatan tahun 2006 sebesar 39 % dibanding tahun sebelumnya;
• Philip Meyer, The Vanishing Newspaper menyatakan tahun 2043 semua pers cetak di AS akan mati;
• Situs pencari data (search engine) Geogle, 2006 mengalami peningkatan keuntungan sebesar 90 % dibanding tahun sebelumnya;
• OhmyNews.com, Korea Selatan dibaca 750.000 org/hari;
• Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki) , 2005 pengguna internet mencapai 0-11 % jml penduduk (5 juta), 2010 target 10-30 % ( 12 juta) , 2015 target 50 %;
• Media Cetak di Indonesia membuat koran online.

Lima masalah yang perlu diperhatikan di dalam membangun dan meng-implementasikan strategi publikasi melalui media online, yaitu:
• kegunaan – untuk keperluan apa suatu situs web pemerintah daerah dibuat?
• tanggung jawab – siapa pemilik situs web dan siapa yang bertanggung jawab?
• manajemen situs – bagaimana cara pemberian dan permintaan layanan?
• isi – bagaimana materi disediakan, dipelihara, dan dipresentasikan dalam bentuk media online?
• pemutakhiran dan pemeliharaan – bagaimana cara melakukan pemantauan (penggunaan dan pe-nampilan) dan pemutakhiran informasi pada situs web pemerintah daerah?

Manfaat Website Bagi Humas
• Menjadi media publikasi yang sepenuhnya dikontrol oleh Humas
• Menjadi media publikasi secara cepat dan tak terbatas
• Menjadi sumber berita bagi media dan masyarakat
• Pembaca dapat mengakses press release yang dikeluarkan dan ditampilkan di situs web pemda secara bebas
• Pengiriman Press Release melalui mailing list kepada para mitra kerja/media
• Redaksi dapat meng-upload /mengakses berita di mana saja.

Langkah-langkah Peliputan Berita :
1. Identifikasi/Kajian Kegiatan/Kebijakan Pemerintah yang perlu di publikasikan
2. Penugasan dan Koordinasi dengan Reporter
3. Koordinasi dengan Wartawan
4. Pelaksanaan Peliputan
5. Hasil Peliputan : Rekaman Video, Foto, Audio, Tulisan berita
6. Press Release dan Naskah berita untuk website
7. Editing oleh editor dan upload ke website www.jogjaprov.go.id
8. Publikasi melalui: website, televisi, media cetak, dan radio
9. Seleksi berita untuk diupload ke portal nasional www.indonesia.go.id
10. Evaluasi

Bentuk Penyajian Berita
• Berita cetak (Print News), yaitu berita yang dibuat dengan teknologi percetakan [koran dan majalah]
• Berita broadcast (Broadcast News), yaitu berita yang menggunakan media televisi dan radio
• Berita elektronik (E-News), berita yang menggunakan perangkat komputer yang terhubung dengan jaringan komputer global. Terdapat juga beberapa istilah untuk berita elektronik yaitu online news atau digital news.

Karakteristik Jurnalistik Online Dibandingkan Jurnalistik Tradisional
Online = Real Time
• Online journalism dapat dipublikasikan dalam waktu yang seketika, untuk updating breaking news dan kejadian sudah dan sedang terjadi.
Online = multimedia
• Online journalism dapat memasukan elemen multimedia, seperti teks, graphics, suara, musik, motion video, dan animasi ditambah tiga dimensi.
Online = interactive
• Online journalism bersifat interaktif. Adanya hyperlinks mewakili mekanisme utama interaktif pada web.

Online News
• Penulisan berita bergeser dari seragam (pers cetak) ke personal dengan format penulisan pendek, tajam (snappier), dan bergaya percakapan, karena mengajak pembaca menjadi partisipan.
• Pembaca dapat merespon secara langsung kepada materi yang disajikan reporter online, bisa lewat e-mail, fasilitas online reply, model forum diskusi, submit artikel, respon langsung atas komentar-komentar dari pembaca lain atau lewat jajag pendapat online.



Tools dalam Public Relation :
1. Distribusi News Release : Tulis, Video, Audio
2. Press Kits (Cetakan, CD)
3. Wawancara khusus dengan media
4. Jumpa Pers (Media Conference)
5. Press Tour
6. Seminar
7. Penjelasan Pers atau Juru Bicara
8. Penyiapan Pidato
9. Monitoring Media dan Kliping

Pengalaman Yang Diperoleh
1. Jaringan online yang sudah tersedia dan menghubungkan satuan kerja di lingkungan Pemerintah perlu dimanfaatkan secara optimal dalam pengelolaan berita melalui website www.jogjaprov.go.id.
2. Dalam penulisan berita di website, disamping harus mematuhi kadiah-kaidah penulisan online news yang benar, maka aspek kecepatan penayangan (aktualitas) sangat menentukan kualitas berita sebagai konsekuensi sebuah media online.
3. Untuk mengoptimalkan publikasi kegiatan dan kebijakan Pemerintah yang tersebar di semua satuan kerja, maka harus didukung dengan networking dan sinergi diantara semua satuan kerja.
4. Membangun kemitraan profesional dengan media masa/jurnalis
5. Memantau agenda-agenda Pemerintah Daerah
6. Membangun teamwork yang solid
7. Dukungan sarana prasarana operasional yang memadai dalam melaksanakan tugas peliputan


Yogyakarta, Maret 2009