Tuesday, June 3, 2008

Pancasila dan Kekerasan Agama

Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:36 WIB
Oleh Victor Rembeth

Peringatan lahirnya Pancasila tahun 2008 dinodai dengan pengingkaran terhadap makna hakiki ideologi berbangsa yang inklusif ini. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.

Kekerasan telah menjadi satu-satunya alat untuk menghapus dan meniadakan orang lain yang berbeda. Agama yang menjadi semangat pemersatu dalam sila awal Pancasila justru dipakai untuk memorakporandakan kebersamaan yang harusnya menjadi berkat bagi seluruh bangsa ini.

Gejala antieksistensi di antara berbagai kelompok yang hidup bersama dalam sebuah negara bangsa telah menunjukkan wajahnya yang akut. Kenyataan ko- eksistensi plural telah sampai kepada titik yang mengkhawatirkan. Agama telanjur digiring ke dalam sebuah wacana antieksistensial. Manifestasinya adalah sifat curiga dan sektarian yang telah mulai melembaga dalam kehidupan keberagaman kita.

Tribalisme primitif

Dalam memberi makna Pancasila, tantangan yang sangat dirasakan adalah bagaimana kita mampu memberi makna untuk apa yang disebut sebagai religious otherness. Dengan belajar dari sejarah berdarah agama-agama yang penuh dengan eliminasi dan percaturan menang kalah, seharusnya ideologi Pancasila mampu memberi warna baru untuk sebuah relasi antaragama yang berbasis kekuatan sipil masyarakat. Tantangan hidup beragama pada abad ini sangat nyata. Rabbi Jonathan Sacks mengatakan bahwa ”ketika pada abad ke-20 didominasi oleh politik ideologi, maka abad ke-21 akan didominasi oleh politik identitas”.

Sikap kekerasan agama sebetulnya mengembalikan manusia kepada sebuah renaisans tribal- isme yang primitif. Sikap agama yang bisa dipotret dari kebenaran tribalisme ini adalah ”suku saya melawan suku kamu, dan tuhan- ku melawan tuhan kamu”. Th Sumartana pernah menyoroti keberlainan agama yang diakibatkan oleh sikap tribalisme ini sebagai sebuah tatanan dunia yang ”cukup untuk diri sendiri”.

Dunia tribal adalah dunia yang tertutup, dunia seluas pandang lahan kehidupan, air, tanah, gunung, sawah, lading hutan, dan agama serta tuhan yang terbatas membuat masyarakat juga tak mampu menghargai pengalaman spiritual yang lain. Tantangan ini menyebabkan kemunduran agama dalam memandang realitas kebersamaan yang plural.

Sebuah percaturan menang kalah akan dengan mudah disusupi oleh semangat sektarian akut. Agama yang sering dinobatkan sebagai kekuatan antimasyarakat sipil mendapat bukti pembenaran. Penggunaan agama yang dipertentangkan satu dengan yang lain untuk kepentingan politis negara dan pasar menjadi begitu sangat nyata dalam relasi perebutan posisi ruang publik. Dalam kondisi problematik pendefinisian peran agama dalam masyarakat sipil ini, kepentingan negara dan pasar menjadi begitu mudah mengambil celah untuk berjaya.

Ketika negara masuk mengooptasi agama, seperti yang dipertunjukkan secara kasatmata selama masa rezim Orde Baru, kekuatan agama-agama pun dimatikan secara perlahan dan kemampuan menghadirkan kekuatan masyarakat sipil menjadi lemah. Agama-agama sekadar menjadi stempel kebijakan negara untuk berbagai kepentingan, mulai dari program KB sampai kepada penggunaan restu politik bagi kebertahanan sebuah rezim.

Dominasi pasar juga mampu menuai keuntungan dari keterbelahan yang ada. Berbagai media berbasis agama menjadi marak dan tak jarang mengorbankan konsepsi kebersamaan dan semangat keindonesiaan yang bhinneka tetapi tetap eka. Oleh karena itu, kaum kapitalis menjadi bersanding dengan agama ketika diuntungkan dengan program SMS rohani melalui telepon seluler ataupun pengumpulan massa yang bertajuk siraman dan pembinaan rohani. Komunitas agama dibanjiri dengan berbagai pemetaan identitas yang berujung kepada komodifikasi agama-agama untuk kepentingan pasar.

Realitas koeksistensi masyarakat yang menjadi cita-cita awal lahirnya negara bangsa Indonesia idealnya bisa dengan manis menghadirkan relasi kebersamaan. Namun, realitas keterlibatan negara dalam politik identitas menjadikan sebuah relasi baru dalam masyarakat yang berbasis antaragama harus bisa kembali diretas. Koeksistensi sebagai keniscayaan bisa dengan mudah menjadikan sekelompok manusia hanya sebagai peran pembantu dalam sebuah hegemoni kelompok mayoritas.

Proeksistensial

Relasi baru yang secara cerdas dilahirkan oleh ideologi Pancasila dalam negara bangsa yang majemuk ini adalah keinginan mengenal orang lain lebih dalam lagi dan apa adanya. Konsekuensinya, sebuah spiritualitas hakiki yang bersifat proeksistensial harus terus diremajakan dalam kehidupan berbagai kelompok agama.

Kendati berbagai luka telah memecah belah dan mengakibatkan kerusakan cukup parah dalam hubungan kelompok antariman, masih banyak problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dan pengangguran, yang bisa mempersatukan warga sebangsa.

Dengan spiritualitas yang pro- eksistensial, sesama warga sebangsa akan mau membagi dan berbagi. Proesksistensi antaragama adalah modal untuk menghadirkan sebuah masyarakat sipil yang bermartabat. Bila demikian adanya, cita-cita Pancasila bukanlah pepesan kosong, melainkan semangat yang masih diperlukan dalam upaya nation building yang mengutuk segala macam kekerasan.

Victor Rembeth Pendeta, Alumnus Program IRB Universitas Sanata Dharma

Pancasila dan Kekerasan Agama Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:36 WIB

Oleh Victor Rembeth

Peringatan lahirnya Pancasila tahun 2008 dinodai dengan pengingkaran terhadap makna hakiki ideologi berbangsa yang inklusif ini. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.

Kekerasan telah menjadi satu-satunya alat untuk menghapus dan meniadakan orang lain yang berbeda. Agama yang menjadi semangat pemersatu dalam sila awal Pancasila justru dipakai untuk memorakporandakan kebersamaan yang harusnya menjadi berkat bagi seluruh bangsa ini.

Gejala antieksistensi di antara berbagai kelompok yang hidup bersama dalam sebuah negara bangsa telah menunjukkan wajahnya yang akut. Kenyataan ko- eksistensi plural telah sampai kepada titik yang mengkhawatirkan. Agama telanjur digiring ke dalam sebuah wacana antieksistensial. Manifestasinya adalah sifat curiga dan sektarian yang telah mulai melembaga dalam kehidupan keberagaman kita.

Tribalisme primitif

Dalam memberi makna Pancasila, tantangan yang sangat dirasakan adalah bagaimana kita mampu memberi makna untuk apa yang disebut sebagai religious otherness. Dengan belajar dari sejarah berdarah agama-agama yang penuh dengan eliminasi dan percaturan menang kalah, seharusnya ideologi Pancasila mampu memberi warna baru untuk sebuah relasi antaragama yang berbasis kekuatan sipil masyarakat. Tantangan hidup beragama pada abad ini sangat nyata. Rabbi Jonathan Sacks mengatakan bahwa ”ketika pada abad ke-20 didominasi oleh politik ideologi, maka abad ke-21 akan didominasi oleh politik identitas”.

Sikap kekerasan agama sebetulnya mengembalikan manusia kepada sebuah renaisans tribal- isme yang primitif. Sikap agama yang bisa dipotret dari kebenaran tribalisme ini adalah ”suku saya melawan suku kamu, dan tuhan- ku melawan tuhan kamu”. Th Sumartana pernah menyoroti keberlainan agama yang diakibatkan oleh sikap tribalisme ini sebagai sebuah tatanan dunia yang ”cukup untuk diri sendiri”.

Dunia tribal adalah dunia yang tertutup, dunia seluas pandang lahan kehidupan, air, tanah, gunung, sawah, lading hutan, dan agama serta tuhan yang terbatas membuat masyarakat juga tak mampu menghargai pengalaman spiritual yang lain. Tantangan ini menyebabkan kemunduran agama dalam memandang realitas kebersamaan yang plural.

Sebuah percaturan menang kalah akan dengan mudah disusupi oleh semangat sektarian akut. Agama yang sering dinobatkan sebagai kekuatan antimasyarakat sipil mendapat bukti pembenaran. Penggunaan agama yang dipertentangkan satu dengan yang lain untuk kepentingan politis negara dan pasar menjadi begitu sangat nyata dalam relasi perebutan posisi ruang publik. Dalam kondisi problematik pendefinisian peran agama dalam masyarakat sipil ini, kepentingan negara dan pasar menjadi begitu mudah mengambil celah untuk berjaya.

Ketika negara masuk mengooptasi agama, seperti yang dipertunjukkan secara kasatmata selama masa rezim Orde Baru, kekuatan agama-agama pun dimatikan secara perlahan dan kemampuan menghadirkan kekuatan masyarakat sipil menjadi lemah. Agama-agama sekadar menjadi stempel kebijakan negara untuk berbagai kepentingan, mulai dari program KB sampai kepada penggunaan restu politik bagi kebertahanan sebuah rezim.

Dominasi pasar juga mampu menuai keuntungan dari keterbelahan yang ada. Berbagai media berbasis agama menjadi marak dan tak jarang mengorbankan konsepsi kebersamaan dan semangat keindonesiaan yang bhinneka tetapi tetap eka. Oleh karena itu, kaum kapitalis menjadi bersanding dengan agama ketika diuntungkan dengan program SMS rohani melalui telepon seluler ataupun pengumpulan massa yang bertajuk siraman dan pembinaan rohani. Komunitas agama dibanjiri dengan berbagai pemetaan identitas yang berujung kepada komodifikasi agama-agama untuk kepentingan pasar.

Realitas koeksistensi masyarakat yang menjadi cita-cita awal lahirnya negara bangsa Indonesia idealnya bisa dengan manis menghadirkan relasi kebersamaan. Namun, realitas keterlibatan negara dalam politik identitas menjadikan sebuah relasi baru dalam masyarakat yang berbasis antaragama harus bisa kembali diretas. Koeksistensi sebagai keniscayaan bisa dengan mudah menjadikan sekelompok manusia hanya sebagai peran pembantu dalam sebuah hegemoni kelompok mayoritas.

Proeksistensial

Relasi baru yang secara cerdas dilahirkan oleh ideologi Pancasila dalam negara bangsa yang majemuk ini adalah keinginan mengenal orang lain lebih dalam lagi dan apa adanya. Konsekuensinya, sebuah spiritualitas hakiki yang bersifat proeksistensial harus terus diremajakan dalam kehidupan berbagai kelompok agama.

Kendati berbagai luka telah memecah belah dan mengakibatkan kerusakan cukup parah dalam hubungan kelompok antariman, masih banyak problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dan pengangguran, yang bisa mempersatukan warga sebangsa.

Dengan spiritualitas yang pro- eksistensial, sesama warga sebangsa akan mau membagi dan berbagi. Proesksistensi antaragama adalah modal untuk menghadirkan sebuah masyarakat sipil yang bermartabat. Bila demikian adanya, cita-cita Pancasila bukanlah pepesan kosong, melainkan semangat yang masih diperlukan dalam upaya nation building yang mengutuk segala macam kekerasan.

Victor Rembeth Pendeta, Alumnus Program IRB Universitas Sanata Dharma

Agama yang Tidak Menghakimi

Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:35 WIB
Oleh Muhadjir Darwin

Ibu Pertiwi menangis karena kebhinnekaan dicederai di negeri yang sebelumnya dikenal dunia sebagai model kerukunan hidup beragama, di negara yang para ulamanya sering berteriak keras, meyakinkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian.

Kebhinnekaan tersungkur ketika massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang menuju silang Tugu Monas, Jakarta Pusat, hari Minggu (1/6/2008) untuk memperingati hari kelahiran Pancasila dan menyuarakan kebebasan beragama/berkeyakinan diserbu oleh massa beratribut Komando Laskar Islam (KLI)/Front Pembela Islam (FPI). Massa tersebut menyerang dan melakukan penganiayaan serta perusakan terhadap massa AKKBB. Sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak.

Dalam kejadian ini, FPI sekali lagi telah mempertontonkan wajah Islam yang ”garang”. Sikap polisi patut disayangkan karena tidak mencegah dan mengatasi aksi kekerasan tersebut, bahkan menyalahkan AKKBB karena tidak melakukan koordinasi dengan Polri.

Ketua MUI Amidhan seperti ingin bersikap netral dalam peristiwa ini dengan menyayangkan (bukan memprotes atau mengutuk) aksi KLI/FPI, tetapi pada sisi lain menyalahkan pihak AKKBB yang dikatakan melakukan provokasi terhadap KLI/FPI karena di dalam massa tersebut terdapat pengikut Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat oleh MUI. Pernyataan yang sepintas netral tersebut, jika dicermati, cenderung lebih membela KLI/FPI. Dengan tuduhan provokasi, secara implisit Amidhan mau menegaskan bahwa KLI/FPI adalah institusi suci yang tidak boleh diprovokasi, dan karena itu kekerasan yang mereka lakukan (meskipun disayangkan) dapat dimaklumi, lepas dari persoalan apakah klaim provokasi tersebut masuk akal.

Bangsa majemuk

Sesuatu hal yang perlu menjadi keprihatinan kita bersama sebagai sebuah bangsa majemuk adalah kecenderungan maraknya cara-cara kekerasan atas nama Islam dalam menyikapi perbedaan. Sebagai seorang Muslim, saya mencoba bertanya kepada hati nurani saya sendiri, inikah sejatinya Islam? Jika hati saya membisikkan jawaban ”ya”, saya harus merasa malu untuk mengatakan bahwa agama saya adalah agama perdamaian dan malu pula untuk memprotes Amerika dan Israel ketika mereka melakukan teror di tanah Palestina atau Irak. Jika hati kecil saya menjawab ”bukan”, saya harus malu terhadap ulah saudara saya seagama dan merasa citra agama saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.

Umat Islam mempunyai kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan. Tokoh-tokoh Islam pencetus Piagam Jakarta dengan lapang dada mau menanggalkan 7 kata ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam menyusun Pembukaan UUD 1945 dan menerima Pancasila sebagai dasar negara sebagai bentuk pengakuan mereka terhadap prinsip-prinsip pluralisme yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ini berarti, umat Islam-lah yang paling berkepentingan terhadap terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Umat Islam pula yang seharusnya paling marah ketika KLI/FPI atas nama Islam memorakporandakan komitmen nasional bangsa Indonesia dengan anarkisme yang mereka pertontonkan kepada publik pada hari sakralnya bangsa dan negara ini. Keberadaan FPI tidak mengharumkan, tetapi justru merusak citra Islam.

Ketika AS dan Israel melakukan teror di kawasan Timur Tengah, umat Islam dunia menghujat kedua negara tersebut dengan menggunakan dalil kemerdekaan, kebebasan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Ketika Osama bin Laden menjawab hegemoni Amerika dengan menghancurkan menara WTC di New York, tokoh-tokoh Islam moderat sibuk meyakinkan dunia bahwa aksi Osama tidak mencerminkan Islam karena Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama perdamaian. Hal yang sama juga dilakukan ketika kelompok Azahari melakukan teror di beberapa kota di Indonesia.

Lalu, bagaimana saat ini umat Islam Indonesia dapat meyakinkan dunia ketika KLI/FPI yang atas nama Islam melakukan perusakan dan penganiayaan terhadap massa AKKBB yang tengah melakukan aksi damai tersebut? Jika pun mereka tidak setuju, apakah mereka punya otoritas untuk mewakili Tuhan atau negara menghakimi sesama warga negara? Apakah dengan peristiwa seperti ini kita masih punya alasan untuk meyakinkan dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian?

Agama egaliter

Saya jadi ingat ketika tokoh feminis Muslim Kanada, Irsyad Manji, ceramah dalam satu seminar di Kampus UGM. Manji menegaskan pentingnya kemerdekaan berijtihad untuk memajukan Islam. Terhadap pernyataan tersebut, seorang ibu yang mengaku anggota Hizbut Tahrir merespons dengan mengatakan bahwa Irsyad Manji tidak punya otoritas untuk berijtihad karena dia bukan ulama. Hanya ulama yang benar-benar menguasai ilmu agama yang mempunyai otoritas tersebut. Ia lalu membuat analogi dokter gigi. Orang sakit gigi hanya akan mendapatkan pertolongan yang benar jika datang ke dokter gigi. Orang awam tidak bisa mencabut gigi yang sakit karena akibatnya bisa fatal.

Terhadap perumpamaan tersebut, saya yang ketika itu menjadi pembahas presentasi Manji menjawab. Analogi tersebut secara implisit mengatakan bahwa Islam adalah agama yang elitis, di mana fatwa ulama harus diikuti secara taqlid (patuh) oleh pengikutnya, padahal Islam adalah agama yang egaliter. Kedua, dokter belum tentu membuat diagnosis yang tepat atau penanganan medis yang benar.

Nah, ulama dapat juga membuat fatwa keliru dengan menyesatkan aliran tertentu yang berbeda dengan keyakinannya atau memerintahkan umatnya melakukan perusakan, penganiayaan, atau pembunuhan terhadap orang atau kelompok lain yang mempunyai keyakinan yang berbeda.

Muhadjir Darwin Guru Besar Fisipol UGM, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM

Agama yang Tidak Menghakimi Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:35 WIB

Oleh Muhadjir Darwin

Ibu Pertiwi menangis karena kebhinnekaan dicederai di negeri yang sebelumnya dikenal dunia sebagai model kerukunan hidup beragama, di negara yang para ulamanya sering berteriak keras, meyakinkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian.

Kebhinnekaan tersungkur ketika massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang menuju silang Tugu Monas, Jakarta Pusat, hari Minggu (1/6/2008) untuk memperingati hari kelahiran Pancasila dan menyuarakan kebebasan beragama/berkeyakinan diserbu oleh massa beratribut Komando Laskar Islam (KLI)/Front Pembela Islam (FPI). Massa tersebut menyerang dan melakukan penganiayaan serta perusakan terhadap massa AKKBB. Sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak.

Dalam kejadian ini, FPI sekali lagi telah mempertontonkan wajah Islam yang ”garang”. Sikap polisi patut disayangkan karena tidak mencegah dan mengatasi aksi kekerasan tersebut, bahkan menyalahkan AKKBB karena tidak melakukan koordinasi dengan Polri.

Ketua MUI Amidhan seperti ingin bersikap netral dalam peristiwa ini dengan menyayangkan (bukan memprotes atau mengutuk) aksi KLI/FPI, tetapi pada sisi lain menyalahkan pihak AKKBB yang dikatakan melakukan provokasi terhadap KLI/FPI karena di dalam massa tersebut terdapat pengikut Ahmadiyah yang telah dinyatakan sesat oleh MUI. Pernyataan yang sepintas netral tersebut, jika dicermati, cenderung lebih membela KLI/FPI. Dengan tuduhan provokasi, secara implisit Amidhan mau menegaskan bahwa KLI/FPI adalah institusi suci yang tidak boleh diprovokasi, dan karena itu kekerasan yang mereka lakukan (meskipun disayangkan) dapat dimaklumi, lepas dari persoalan apakah klaim provokasi tersebut masuk akal.

Bangsa majemuk

Sesuatu hal yang perlu menjadi keprihatinan kita bersama sebagai sebuah bangsa majemuk adalah kecenderungan maraknya cara-cara kekerasan atas nama Islam dalam menyikapi perbedaan. Sebagai seorang Muslim, saya mencoba bertanya kepada hati nurani saya sendiri, inikah sejatinya Islam? Jika hati saya membisikkan jawaban ”ya”, saya harus merasa malu untuk mengatakan bahwa agama saya adalah agama perdamaian dan malu pula untuk memprotes Amerika dan Israel ketika mereka melakukan teror di tanah Palestina atau Irak. Jika hati kecil saya menjawab ”bukan”, saya harus malu terhadap ulah saudara saya seagama dan merasa citra agama saya tercoreng oleh aksi brutal mereka.

Umat Islam mempunyai kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan. Tokoh-tokoh Islam pencetus Piagam Jakarta dengan lapang dada mau menanggalkan 7 kata ”dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam menyusun Pembukaan UUD 1945 dan menerima Pancasila sebagai dasar negara sebagai bentuk pengakuan mereka terhadap prinsip-prinsip pluralisme yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ini berarti, umat Islam-lah yang paling berkepentingan terhadap terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Umat Islam pula yang seharusnya paling marah ketika KLI/FPI atas nama Islam memorakporandakan komitmen nasional bangsa Indonesia dengan anarkisme yang mereka pertontonkan kepada publik pada hari sakralnya bangsa dan negara ini. Keberadaan FPI tidak mengharumkan, tetapi justru merusak citra Islam.

Ketika AS dan Israel melakukan teror di kawasan Timur Tengah, umat Islam dunia menghujat kedua negara tersebut dengan menggunakan dalil kemerdekaan, kebebasan, kemanusiaan, dan persamaan hak. Ketika Osama bin Laden menjawab hegemoni Amerika dengan menghancurkan menara WTC di New York, tokoh-tokoh Islam moderat sibuk meyakinkan dunia bahwa aksi Osama tidak mencerminkan Islam karena Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama perdamaian. Hal yang sama juga dilakukan ketika kelompok Azahari melakukan teror di beberapa kota di Indonesia.

Lalu, bagaimana saat ini umat Islam Indonesia dapat meyakinkan dunia ketika KLI/FPI yang atas nama Islam melakukan perusakan dan penganiayaan terhadap massa AKKBB yang tengah melakukan aksi damai tersebut? Jika pun mereka tidak setuju, apakah mereka punya otoritas untuk mewakili Tuhan atau negara menghakimi sesama warga negara? Apakah dengan peristiwa seperti ini kita masih punya alasan untuk meyakinkan dunia bahwa Islam adalah agama perdamaian?

Agama egaliter

Saya jadi ingat ketika tokoh feminis Muslim Kanada, Irsyad Manji, ceramah dalam satu seminar di Kampus UGM. Manji menegaskan pentingnya kemerdekaan berijtihad untuk memajukan Islam. Terhadap pernyataan tersebut, seorang ibu yang mengaku anggota Hizbut Tahrir merespons dengan mengatakan bahwa Irsyad Manji tidak punya otoritas untuk berijtihad karena dia bukan ulama. Hanya ulama yang benar-benar menguasai ilmu agama yang mempunyai otoritas tersebut. Ia lalu membuat analogi dokter gigi. Orang sakit gigi hanya akan mendapatkan pertolongan yang benar jika datang ke dokter gigi. Orang awam tidak bisa mencabut gigi yang sakit karena akibatnya bisa fatal.

Terhadap perumpamaan tersebut, saya yang ketika itu menjadi pembahas presentasi Manji menjawab. Analogi tersebut secara implisit mengatakan bahwa Islam adalah agama yang elitis, di mana fatwa ulama harus diikuti secara taqlid (patuh) oleh pengikutnya, padahal Islam adalah agama yang egaliter. Kedua, dokter belum tentu membuat diagnosis yang tepat atau penanganan medis yang benar.

Nah, ulama dapat juga membuat fatwa keliru dengan menyesatkan aliran tertentu yang berbeda dengan keyakinannya atau memerintahkan umatnya melakukan perusakan, penganiayaan, atau pembunuhan terhadap orang atau kelompok lain yang mempunyai keyakinan yang berbeda.

Muhadjir Darwin Guru Besar Fisipol UGM, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM

Friday, May 30, 2008

Orasi Budaya Sri Sultan Hamengku Buwono X

Berikut ini Orasi Budaya yang dsisampaikan Sri Sultan Ham,engku Buwono X pada Puncak Peringatan Hari Ulang Tahun I PUJASUMA dengan judul “ Bhineka Tunggal Ika Sebagai Strategi Membangun Keindonesiaan”, di Palembang 10 November 2007.


LATAR BELAKANG

HARI ini, 10 November 2007, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Ke-62. Untuk itu, ada baiknya jika kita mengingat kembali mutiara kata Bung Karno tentang Pahlawan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai pahlawannya”. Pesan itu saat sekarang ini menjadi lebih bermakna daripada peringatan pada tahun-tahun sebelumnya. Karena kemerdekaan Indonesia yang kita rebut atas jasa perjuangan para pahlawan itu, kini tengah menghadapi ancaman disintegrasi bangsa justru dari kita sendiri.

Untuk itu, ada baiknya pula jika kita juga mau mengingat sejarah perjuangan bangsa, yang sesungguhnya dilakukan oleh seluruh elemen bangsa. Dalam hal sejarah itu, Bung Karno selalu mengajarkan kepada kita: “Belajarlah dari Sejarah”. Karena bangsa yang lupa akan sejarahnya, adalah bangsa yang hilang, dan rakyat yang tanpa masa lalu adalah rakyat yang tiada memiliki lagi jiwa semangat perjuangan. Belajar dari sejarah, bukan berarti untuk hidup di masa lalu, tetapi guna memetik hikmah dari pelajaran sejarah. Sebab, bila tidak belajar dari sejarah, kita harus mengulangi “pelajaran yang sama”, bahkan mungkin, harus memulainya dari awal.

Dari sejarah akan kita temukan, bahwa budaya Nusantara memiliki pondasi peradaban yang tinggi di masa kerajaan-kerajaan besar Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Demak, Mataram, Tarumanegara, Pajajaran, Kutai, Melayu, Samudra Pasai dan lain-lain.

Lalu apa yang bisa dipelajari dari sejarah Sriwijaya melalui jejak-jejak peninggalannya? Kebesaran Sriwijaya justru bisa dilacak dari keberadaan Borobudur. Konon, pada periode 750-850 Masehi Wangsa Syailendra dari Sriwijaya berkuasa di Mataram Kuna, yang bersama-sama Wangsa Sanjaya dan masyarakat Jawa membangun mahakarya Borobudur.
Sebagai negara maritim yang berbasis budaya tepian sungai yang tidak menetap di satu tempat dalam jangka waktu yang lama, Sriwijaya diduga tidak meninggalkan candi-candi seperti yang ada di Jawa [1]. Meski demikian, tidak berarti peradaban Sriwijaya tertinggal dari kerajaan-kerajaan di Jawa.

Buktinya, yang terungkap dari prasasti Talang Tuo tahun 684 Masehi, menggambarkan keadilan dan penegakan hukum telah diberlakukan di masa Sriwijaya. Prasasti batu tersebut memuat aturan-aturan hukum yang intinya menyatakan bahwa ‘hukum berlaku sama’, bahwa siapa pun tidak ada yang kebal hukum. Dalam prasasti ini terdapat pula sumpah jabatan yang memiliki konsekuensi hukuman bagi pejabat, bahkan raja sekali pun, jika melanggar sumpah [2].

Jejak-jejak sejarah itu membuktikan bahwa peradaban Sriwijaya dan Mataram lebih dari seribu tahun yang lampau sudah sangat maju. Kala itu nenek-moyang kita telah mengenal berbagai ilmu yang menggunakan perhitungan yang rumit dan cermat. Pembangunan Borobudur yang menggunakan batu-batuan berton-ton, tentu membutuhkan kecermatan hitung, ketelitian pikir dan manajemen massal serta penuh dengan landasan filosofis.

Namun penjajahan telah dengan sistematik menghilangkan ”ingatan kolektif” kita akan asal-usul peradaban itu. Dengan sengaja kita dipecah-belah, agar tidak bisa bersatu sebagai sebuah bangsa. Sejak itulah hingga kini, kita menjadi bangsa yang kehilangan karakter dan jatidiri aselinya yang pernah menjadi ‘perekat’ Nusantara dan semangat keIndonesiaan kita.


PERSENTUHAN BUDAYA

PALEMBANG, letaknya berada di persimpangan kebudayaan dan interaksi beragam manusia. Saudagar China, Eropa, Arab dan India adalah pengunjung rutin Palembang sebagai bandar perdagangan yang strategis dan aktif mengembangkan hubungan dagang ke Persia, China, India dan Jawa. Armada Sriwijaya telah melayari jalur perdagangan dari Teluk Parsi hingga ke China. Kekuatan maritimnya dapat dilacak dari peninggalan kemudi kapal yang ditemukan di Sungai Buah tahun 1960-an, yang diduga digunakan untuk mengemudikan kapal besar guna mengarungi samudra.

Pengembara China, I Tsing, datang ke Sriwijaya pada tahun 672 Masehi mencatat, Sriwijaya saat itu telah menjadi kota dagang, kota pelajar, dengan penduduk dan raja beragama Buddha. Sarjana China itu sempat tinggal tujuh tahun di bumi Swarnadwipa dan sempat belajar bahasa Sanskerta. Pada tahun 700 Masehi, Sriwijaya telah menjadi pusat pengembangan agama Buddha dan ilmu pengetahuan. Bahkan pendeta Buddha yang ingin ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Palembang.

Sejarah menunjukkan, proses integrasi berbagai budaya dan bangsa adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara, mereka bisa hidup bertetangga, saling menghormati. Sriwijaya saat itu terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang agama, suku dan warna kulit. Islam yang kemudian menjadi agama mayoritas tidak pernah membuat takut pihak luar dan kelompok minoritas. Islam tidak pernah menjadi hambatan bagi pergaulan dengan berbagai bangsa dan suku, juga tidak pernah memaksakan agama. Hasilnya adalah Islam yang inklusif dan tidak beraliran keras.

Setiap budaya punya sisi baik dan buruknya. Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai perpaduan baru adalah cara yang bijak, daripada menolaknya semena-mena. Terhadap budaya orang dan diri sendiri, sikap yang baik adalah tidak merasa rendah diri, tetapi juga tidak terlalu sempit dalam membanggakan budaya sendiri. Beranilah belajar dari budaya orang lain dan budaya sendiri. Kita bisa belajar banyak hal positif dari keberagaman manusia, agama, dan suku bangsa, yang bisa dilakukan lewat Dialog Budaya antaretnik.


BHINNEKA TUNGGAL-IKA SEBAGAI STRATEGI

DI MASA Majapahit ketika itu hidup seorang pujangga, Mpu Tantular, yang menulis Kakawin Sutasoma dengan kalimat saktinya: “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” –biar pun kita berbeda-beda, sesungguhnya kita itu satu, tiada kewajiban mendua. Konsep pluralisme seorang pujangga, di tangan Gadjah Mada, seorang bhayangkara negara, dengan Sumpah Palapa-nya kemudian diterjemahkan menjadi penaklukan wilayah.

Dari visi kita sekarang, Sumpah Palapa itu bertolak-belakang dengan aspirasi bangsa pluralistik, yang pada abad 20 ditegakkan melalui Sumpah Pemuda. Pengalaman mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan (tunggal-ika) yang potensial untuk melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya pluralitas (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia.
Inilah yang lebih menjamin persatuan dan kesatuan serta integrasi nasional dalam rentang waktu jangka panjang yang kukuh dan lestari. Mitos “kesatuan” yang digunakan dalam menata pluralitas (bhinneka tunggal ika), kini tengah menghadapi gugatan sejarah yang menyakitkan. Gugatan itu muncul, karena selain tidak dapat menciptakan keadilan, konsep kesatuan dianggap telah dimanipulasi penguasa, semata untuk melanggengkan kekuasaannya.

Kemajemukan ini seringkali diabaikan dalam wacana politik elite negeri ini. Sekali pun diakui, bahwa Indonesia adalah masyarakat yang berbeda-beda (bhinneka). Tetapi siapa pun diri kita, harus selalu diingat-ingatkan bahwa sesungguhnya kita ini adalah satu (tunggal-ika). Artinya, Bhinneka Tunggal Ika hendaknya tidak hanya dikeramatkan sebagai simbol NKRI saja, tetapi juga diaktualisasikan sebagai semangat dan strategi membangun keIndonesiaan.

Dialog AntarEtnik
Dalam upaya membangun semangat keIndonesiaan itu, dapat dilakukan melalui Dialog Budaya antaretnik [3]. Setiap kelompok budaya hendaknya saling menyapa dan mengenal untuk saling memberi dan menerima.

Misalnya, dari sistem nilai Jawa, etnis Bugis bisa mendewasakan prinsip siri’, agar tidak terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan, tapi menjangkau hal-hal yang lebih besar artinya bagi bangsa. Dari etnis Minang, orang Bugis dapat belajar tentang prinsip musyawarah, karena mereka terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, pantang berubah, sebab siri’ memerlukan pemenuhan seketika. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis dapat belajar tentang tenggang rasa dan kekuatan di dalam kalbu. Kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makasar dalam penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis tidak suka melebih-lebihkan kata.

Demikian juga, masyarakat etnik yang lain agar belajar dari budaya malu (al-haya’) dan berkata yang benar (quli al-haq), dua integritas pribadi Muslim Aceh yang khas [4]. Setiap pejabat publik hendaknya merasa malu jika melakukan kesalahan, dan siap mengundurkan diri dari jabatan, ketika terlibat proses hukum.

Merajut Serat-Serat Budaya
Bhinneka Tunggal Ika hendaknya bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan, yang dituangkan ke dalam kebijakan publik guna membangun keIndonesiaan. Dalam konteks itu, kebijakan dan strategi kebudayaan harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya etnik terjalin dalam “serat-serat budaya” yang saling menguatkan.

Umar Kayam berbicara tentang “serat-serat kebudayaan Nusantara”, yang mengandung konotasi pluralitas yang saling memperkuat, membentuk batang tubuh Kebudayaan Indonesia Baru yang kokoh, laksana sebatang pohon nyiur yang berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar memikul batang, batang menunjang daun dan buah, atau seperti anyaman benang-benang pada tenunan. Hingga kini banyak pakar melihat pluralitas kita tak lebih sebagai “mozaik” yang indah dipandang. Implementasi kebijakan yang dijabarkan melalui strategi itu adalah, bagaimana ragam kekayaan budaya dan adat-istiadat itu dijadikan jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang terikat erat.


CATATAN AKHIR

ALANGKAH besarnya manfaat jika pluralitas budaya dianyam menjadi serat-serat yang saling memperkuat. Dalam kaitan ini kita juga bisa berbicara dalam hubungan Islam-Kristen dan Melayu-Cina. Dengan begitu kita bukan hanya akan hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan hak/kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian.

Kita semua tentu sepakat bahwa Kebudayaan Indonesia Baru adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya dari generasi ke generasi. Dengan kita mampu menerapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai strategi budaya guna membangun keIndonesiaan, tentu setiap etnik akan merasa bangga memiliki negeri yang namanya Indonesia ini.


Palembang, 10 November 2007

KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT,



HAMENGKU BUWONO X
[1] Ilham Khoiri, “Mengais Jejak Kebesaran Sriwijaya”, Kompas, 28 Januari 2005.
[2] H. Tanzil, “Indonesia Jaya-Segemilang Apa pun Masa Lalumu Masa Depanmu Lebih Gemilang”, Book Review karangan Anand Krishna “Bagimu Ibu Pertiwi”.
[3] Adaptasi Mochtar Pabottinggi, “Hak-Hak Individu dan Sosial di Indonesia”, Yayasan Paramadina.
[4] Ameer Hamzah, ”Budaya Malu dan Berkata Benar dalam Masyarakat Aceh”, Serambi Minggu, 12 Desember 2003.