Thursday, February 11, 2010

Perawat Profesional Berstandar Internasional, Agar Bisa Menembus Negara Lain

KEPATIHAN, YOGYAKARTA - Peningkatan profesionalisme perawat dan kemungkinan pengembangan rumah sakit anak menjadi topik pembicaraan antara Gubernur DIY Hamengku Buwono X dengan Dr. David Marsh dan Claire Marsh pada pertemuan yang diadakan di Gedhong Wilis, Kepatihan, Yogyakarta, Senin (8/2/2010). Nampaknya ada pula kesamaan isu yang didiskusikan, yaitu sulitnya perawat Indonesia untuk bekerja di negara-negara lain. Kendalanya, antara lain ketiadaan lembaga yang bisa memberi sertifikasi perawat yang diakui internasional..

Perkembangan lembaga pendidikan keperawatan di tanah air disatu sisi membuat Indonesia mampu memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar. Namun demikian lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Akibatnya kita tertinggal dari negara-negara Asia. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.

Dr. David Marsh menemui Sultan, salah satunya adalah untuk menawarkan solusi peningkatan profesionalisme perawat agar bersertifikat dan berstandar internasional. Tawaran tersebut tidak lepas dari pengalaman Marsh Foundation yang dipimpinnya, ketika memberikan bantuan obat-obatan dan tenaga medis pada waktu terjadi bencana Tsunami di Aceh dan gempa bumi di DIY beberapa tahun lalu. Jasa itu pula yang membuat Dr. David Marsh memperoleh penghargaan Satya Lencana Ksatria Bhakti Husada Aditya dari Pemerintah Republik Indonesia. Mars Foundation yang berkedudukan di Melbourne, Australia, juga mengelola rumah sakit dan lembaga-lembaga pendidikan di Australia dan di beberapa negara.

Menurud, Dr. David Marsh, Marsh Foundation yang dipimpinnya telah melaksanakan kerja sama dengan beberapa negara untuk melaksanakan pelatihan dan peningkatan ketrampilan perawat, sehingga mereka memperoleh sertifikat yang berlaku secara internasional. Dr. David Marsh juga menyampaikan bahwa anak yang terdidik, sehat dan bahagia akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas di usia dewasanya nanti.

” Pada saat ini ada kesenjangan antara kemampuan perawat dengan dokter spesialis yang menangani pasien. Pengalaman yang saya lihat, di negara manapun perawat bisa memprediksi dan menganalisa kondisi pasien untuk keperluan pemeriksaan dokter. Di sini belum ada keberanian melakukan itu, sehingga masih tergantung dokter”, kata Sultan. Persoalan lai, menurut Sultan, perawat Indonesia belum bisa langsung bekerja di luar negeri, karena harus melalui test oleh Dewan Perawat Negara yang bersangkutan, misalnya Singapura dan Malaysia, sehingga masih harus ditraining lagi.

Permasalahan yang dikemukakan Sultan, nampaknya sejalan dengan program yang ditawarkan Marsh Foundation.

Dr. David Marsh mengemukakan melalui program yang ditawarkan maka perawat akan memperoleh pendidikan lanjutan, baik secara akademis maupun praktis sehingga perawat mempunyai kemampuan berstandar internasional, yang ditandai dengan pemberian sertifikat yang berlaku di negara-negara lain.

”Kami akan mendidik perawat agar mempunyai kemampuan lanjutan berstandar internasional, misalnya perawat yang menangani penyakit jantung, menangani gawat darurat, dll.”, kata Dr. David Marsh.

Tawaran Dr. David Mash kepada Sultan, seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan yang semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap dalam negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN (Registered Nurse) sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita.

Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Karena itu sangat diperlukan lembaga yang berwenang memberi sertifikasi dan melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Lembaga ini bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan).

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Keprihatinan tersebut dikemukakan oleh Edy Wuryanto, SKp Sekretaris Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Propinsi Jawa Tengah dan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) dalam sebuah situs internet.

Sebagai langkah konkret pembicaraan antara Gubernur dengan Dr. David Mars, disepakati kerja sama akan ditindaklanjuti dengan RS Sarjito dalam pengembangan Rumah Sakit Khusus Anak dan dengan Fakultas Kedokteran UGM dalam peningkatan profesionalisme perawat. Kerjasama tersebut dinilai paling praktis dan dapat segera dilaksanakan, karena UGM dan RS Sarjito mempunyai kapasitas untuk merealisasikan kerjasama tersebut.

Humas Pemprov DIY.

Tuesday, February 2, 2010

Dubes Jepang Kojiro Shiojiri Temui Sultan Bicara Penanganan Bencana


Laporan: Biwara Yuswantana

Sama-sama pernah mengalami bencana gempa. Sama-sama mempunyai gunung berapi yang aktif. “Kesamaan “ tersebut menjadi alasan kerjasama antara Jepang dan Indonesia, dan antara provinsi di Jepang, Kobe misalnya, dengan Provinsi DIY. Kesamaan itu pula yang membuat pembicaran antara Dubes Jepang Kojiro Shiojiri dan Sultan mengalir, menarik dan substansial, ketika keduanya bertemu di Gedhong Willis, Kepatihan, Yogyakarta, Jum,at (13/11/09).

Kepada Sultan, Khojiro Shiojiri mengungkapkan, gempa di Kobe, 10 tahun lalu merupakan pengalaman penting bagi Jepang. Rupanya Jepang tidak menyia-nyiakan pengalaman tersebut sebagai sebuah pembelajaran. Banyak langkah penting dan mendasar ditetapkan oleh Pemerintah Jepang paska gempa Kobe. Pemerintah menerapkan kebijakan baru untuk antisipasi gempa. Bangunan-bangunan baru harus lolos pemeriksaan sebagai bangunan tahan gempa.

Pemerintah Daerah dan LSM juga meningkatkan kerja sama melakukan pengawasan terhadap bangunan-bangunan baru agar mematuhi persyaratan bangunan tahan gempa. Prioritas juga dilakukan. Bangunan-bangunan seperti rumah sakit dan sekolah diawasi dengan ketat pembangunannya, dan diterapkan standar bangunan yang paling tahan gempa. Keputusan itu tidak salah, karena tempat-tempat tersebut akan berfungsi sebagai tempat merawat korban gempa dan tempat pengungsian, apabila terjadi gempa. Dan sekolah, adalah tempat anak-anak, generasi muda belajar. Mengamankan mereka, berarti mengamankan masa depan.

“ Bangunan-bangunan yang paling tahan gempa adalah rumah sakit dan sekolah, karena gedung tersebut untuk merawat korban gempa dan tempat pengungsian apabila terjadi gempa”, kata Kojiro Shiojiri.

DIY memang belum punya pengalaman menangani gempa 8 SR seperti yang terjadi di Kobe, Jepang, 10 tahun lalu. Pengakuan itu juga disampaikan Sultan kepada tamunya. Didorong keinginan kuat untuk melindungi warga masyarakat DIY dari dampak gempa, Sultan pun menyatakan ingin mengetahui lebih jauh bentuk-bentuk dan rumusan kebijakan yang diambil Jepang, baik di tingkat Pemerintah Pusat, Provinsi atau Kabupaten.

Sultan menginginkan ada kerjasama dengan JICA untuk mengirim tenaga ahli ke Indonesia, untuk memberikan informasi kebijakan yang ditetapkan, bentuk institusi, serta standardisasi yang ditetapkan untuk mengantisipasi gempa. Menurut Sultan, konsultan arsitek punya peran penting dalam merancang bangunan agar memenuhi standar tahan gempa. Untuk itu diperlukan ketentuan rinci, misalnya konstruksi bagaimana, materialnya seperti apa, sehingga Pemerintah bisa mengontrol. Masih seputar arsitektur bangunan tahan gempa, kepada Kojiro Shiojiri, Sultan mempertanyakan kemungkinan JICA bisa membantu mengkaji bangunan berasitektur Jawa, namun mempunyai konstruksi yang tidak membahayakan bagi penghuninya apabila terjadi gempa.

“ Bagaimana konsultan arsitektur dalam membuat rancangan bangunan bisa penuhi standar tahan gempa. Materialnya apa, kita bisa kontrol. Kami belum punya pengalaman”, kata Sultan.

Di tengah pembicaraan, Sultan juga mengungkapkan harapannya untuk menemukan material yang lebih kuat dan lebih baik sehingga bangunan rumah tidak membahayakan penghuninya dan tahan gempa. Beberapa kemungkinan disampaikan. Atap, misalnya, penggunaan genteng seperti yang selama ini dilakukan, mempunyai beban yang berat. Perlu dicari alteratif atap yang ringan, tidak memberatkan bangunan rumah, sehingga lebih aman. Di sisi lain penggunaan konstruksi aluminium yang lebih ringan, seperti banyak digunakan oleh lembaga donor dalam rehabilitas dan rekonstruksi, masih perlu diteliti kekuatannya bila gempa terjadi.

” Kalau terjadi gempa patah atau tidak, membahayakan penghuninya tidak ?”, ungkap Sultan.

Banyak ide dikemukakan Sultan, yang perlu ditindaklanjuti dengan penelitian. Misalnya penelitian untuk menemukan bahan untuk dinding, seperti partikel board, yang ringan tapi kuat, tahan hujan dan panas, serta tidak berbahaya bagi penghuni. Begitu pula material pengganti batu bata, mungkin dari ampas tebu, abu, atau bahan lainnya, sehingga menjadi material yang ringan namun kuat.

Sultan juga mengemukakan peran yang diharapkan dari Pusat Informasi Bangunan dan Gempa yang sedang dibangun. Institusi ini diharapkan bisa menampilkan produk-produk material bahan bangunan yang tahan gempa, sehingga masyarakat bisa memilih alternatif bahan yang tahan gempa namun terjangkau dari segi pembiayaan.

Apresiasi Kaisar Jepang

“ Kaisar Jepang sangat menghargai upaya Sultan dalam penanganan gempa Jogja, dan kami juga melaporkan ke Kaisar bahwa sekarang kondisinya sudah pulih”, kata Kojiro Shiojiri kepada Sultan. Apresisasi tersebut nenunjukkan perhatian Jepang terhadap penanganan gempa DIY.

Pada saat itu Jepang memberikan banyak bantuan ke DIY. Tidak saja berupa bahan-bahan kebutuhan masyarakat, namun juga mendirikan Rumah Sakit untuk merawat korban gempa.

Dubes Jepang rupanya juga mengkuti kegiatan Sultan membantu korban gempa di Sumatera Barat, dan dalam kesempatan bertemu Sultan menyampaikan rasa terharunya dengan kegiatan Sultan di Sumatera Barat.

Pemerintah Jepang mendukung kalau Yogyakarta akan menjadi Pusat Studi Gempa di Indonesia. Proses kearah itu terus diupayakan. Misalnya, beberapa tenaga ahli Jepang berada di Yogyakarta untuk mempelajari gempa DIY , 3 tahun lalu, tepatnya 27 Mei 2006, dan berbagai dampak yang ditimbulkannya.

Liu Qi dan Sultan, Menggiatkan Kembali Hubungan Kebudayaan Tiongkok-DIY

Oleh: Biwara Yuswantana

Bakpia dan bakso, sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Bakpia Patuk, bahkan telah menjadi oleh-oleh khas Kota Yogya. Bakso sangat mudah ditemui, tidak saja di berbagai sudut kota, tetapi sampai di pelosok-pelosok desa.

Hubungan China-Indonesia mempunyai sejarah panjang. Penyebar agama Islam di tanah Jawa, yang berjumlah 9 orang (Walisongo), sebagian merupakan tokoh Islam China yang masuk lewat Surabaya. Begitu pula dengan Kapten Tjeng Ho yang mendarat di Semarang. Perdagangan Tiongkok-Yogyakarta sudah ada sejak abad 9 M.

Peningkatan hubungan dan dialog budaya antara masyarakat DIY dan China, menjadi topik pembicaraan Sultan dengan Liu Qi Wakil Walikota Beijing dan Ketua Communist Party of China (CPC) Komite Kota Bejing ketika keduanya bertemu di Gedhong Willis, Kepatihan, Yogyakarta, Senin (30/11/09).

Dalam kunjungannya Liu Qi didampingi pejabat-pejabat dari Kota Beijing dan Kedutaan Besar China di Jakarta. Bahkan jumlahnya cukup besar untuk, 20 orang.

“Harapan saya, jauh sebelum Indonesia ada, sekitar abad 9-10, hubungan China-Indonesia sudah ada. Sudah terjadi dialog budaya, sehingga hal itu bisa dikembangkan lagi”, kata Sultan. Karena Yogya merupakan Kota Pendidikan dan Budaya, lanjut Sultan, apa mungkin China membuka lembaga kebudayaan di Yogyakarta. Melalui lembaga tersebut China bisa menampilkan informasi dan kebudayaan China, melaksanakan pertukaran misi kesenian dan budaya, atau menyelenggarakan studi bahasa China.

Kalau Lembaga Kebudayaan China bisa berdiri di Yogyakarta, akan semakin memperbanyak jumlah pusat-pusat kebudayaan Negara lain di Yogyakarta. Kepada tamunya Sultan menyampaikan, saat ini sudah beberapa negara membuka lembaga kebudayaan di Yogyakarta, seperti Jepang, Korea, Perancis, Belanda, dll. Melalui lembaga tersebut dapat diinformasikan kebudayaan, sejarah dan seni-budaya China. Begitu pula bisa dilakukan tukar menukar misi kesenian dan tempat studi tentang China.

“Yang penting masyarakat Yogyakarta punya kesempatan mengetahui dan membangun dialog budaya dengan lembaga yang ada”, jelas Sultan mengenai latar belakang perlunya pendirian Lembaga Kebudayaan China.

Kerjasama dengan provinsi-provinsi di luar negeri sudah banyak dilakukan, dalam bentuk Sister Province. Sultan berharap kerjasama serupa juga bisa dikembangkan dengan China. Sultan juga mendorong kemungkinan dibangunnya hubungan Sister-City antara Kota Yogyakarta dengan kota-kota di RRC. Tawaran ini disambut baik oleh Liu Qi, yang akan mencari kota-kota yang cocok bekerja sama dengan Yogyakarta.

Pariwisata juga menjadi bahan pembicaraan kedua tokoh. Liu Qi mendukung peningkatan kerjasama pariwisata. Liu Qi mengagumi keajaiban dunia yang terdapat di Provinsi DIY dan Jawa Tengah, yaitu Borobudur dan Prambanan. Obyek wisata tersebut menjadi daya tarik wisatawan China untuk berkunjung. China, memiliki 5 obyek wisata yang menjadi warisan budaya dunia. Obyek wisata tersebut mampu menyedot sekitar 8 juta wisatawan untuk mengunjungi Cina, setiap tahunnya.

Liu Qi, yang juga menjabat Anggota Polibiro Partai Komunis China, siap membantu memperkenalkan kekayaan wisata dan budaya Yogyakarta kepada masyarakat Cina. Ia menyebut Yogyakarta merupakan Kota yang bagus, suku-suku bangsa bisa hidup rukun, Kota Budaya dan Sejarah. yang juga menjabat Anggota Polibiro Partai Komunis China Namun ia menyebut pentingnya pembangunan infrastruktur ke depan untuk mendukung pengembangan kepariwisataan. Bandara yang lebih memadai dan jalan-jalan yang bagus, akan menarik lebih banyak wisatawan Tiongkok untuk berkunjung ke DIY.

Pemikiran Liu Qi ternyata sejalan dengan Sultan. Bahkan Sultan sudah melangkah. Pendekatan dengan Haian Air sudah dirintis, untuk membuka penerbangan langsung RRC – Jogja. Perpanjangan landasan Bandara Internasional Adisucipto juga sudah dikerjakan, tahun 2011 diharapkan selesai.

Tahun depan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia sudah menginjak 60 tahun. Dalam peringatan tersebut, RRC akan mengirim Tim Kebudayaan yang akan mengadakan pertunjukkan di beberapa kota Indonesia. Sultanpun menyambut baik, kalau Tim Kebudayaan RRC bisa tinggal dan mengadakan pentas kebudayaan di Yogyakarta.

Sultan: Perlu Dirubah, Persepsi Islam Identik Timur Tengah

DIY potensial menjadi pusat pengembangan dialog interfaith. Hal itu disebabkan karena masyarakat DIY yang toleran dan mengedepankan harmoni dalam berhubungan dengan sesama, melalui dialog budaya antar umat beragama, sehingga kondisi daerah tetap aman. Ke depan Provinsi DIY bisa menjadi tempat Sekretariat Dialog Interfaith.

Hal itu diungkapkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, ketika menerima kunjungan Sembilan calon Duta Besar dan dua calon Konsul Jenderal Indonesia untuk kawasan Amerika, Amerika Latin, Eropa, Timur Tengah, Asia, Asia Timur, dan Afrika (Thosari Wijaya, Joko Susilo, dll), pada Jum’at, 20 November 2009, di Gedhong Wilis, Kepatihan, Yogyakarta.
:
Gubernur berharap duta besar di Mesir, Maroko, Tunisia, serta negara-negara Afrika Utara atau Mediterania bisa mendorong negara-negara tersebut untuk membuka lembaga kebudayaan Islam di Yogyakarta. Dengan lembaga tersebut, diharapkan bisa memberi pencerahan kepada masyarakat melalui penyediaan perpustakaan, kesenian dan program-program kebudayaan untuk mengubah persepsi bahwa Islam identik dengan Timur Tengah, termasuk pandangan terhadap konflik Palestina dan Timur Tengah pada umumnya. Apabila pandangan tersebut belum bisa berubah, ekstremitas, kekerasan, serta teror akan terus terjadi. DIY juga siap menyediakan SDM untuk menjadi manajer lembaga tersebut, seperti yang selama ini dilakukan di lembaga-lembaga studi yang ada di Yogyakarta. Lembaga tersebut perlu untuk membangun dialog budaya, agar masyarakat tidak hanya bangga pada budaya sendiri, tetapi punya wawasan luas dan juga bisa mengapresiasi budaya bangsa-bangsa lain.

Indonesia, khususnya DIY mempunyai potensi sangat besar untuk mengembangkan dialog interfaith. Indonesia tidak mempunyai kendala historis, sehingga bisa mengembangkan dialog dengan Afrika, Eropa, Australia. Kalau pusat dialog interfaith bisa dibangun di Indonesia (DIY), maka hal itu akan menjadi kekuatan Indonesia dalam diplomasi luar negeri.