Tuesday, February 2, 2010

Dubes Jepang Kojiro Shiojiri Temui Sultan Bicara Penanganan Bencana


Laporan: Biwara Yuswantana

Sama-sama pernah mengalami bencana gempa. Sama-sama mempunyai gunung berapi yang aktif. “Kesamaan “ tersebut menjadi alasan kerjasama antara Jepang dan Indonesia, dan antara provinsi di Jepang, Kobe misalnya, dengan Provinsi DIY. Kesamaan itu pula yang membuat pembicaran antara Dubes Jepang Kojiro Shiojiri dan Sultan mengalir, menarik dan substansial, ketika keduanya bertemu di Gedhong Willis, Kepatihan, Yogyakarta, Jum,at (13/11/09).

Kepada Sultan, Khojiro Shiojiri mengungkapkan, gempa di Kobe, 10 tahun lalu merupakan pengalaman penting bagi Jepang. Rupanya Jepang tidak menyia-nyiakan pengalaman tersebut sebagai sebuah pembelajaran. Banyak langkah penting dan mendasar ditetapkan oleh Pemerintah Jepang paska gempa Kobe. Pemerintah menerapkan kebijakan baru untuk antisipasi gempa. Bangunan-bangunan baru harus lolos pemeriksaan sebagai bangunan tahan gempa.

Pemerintah Daerah dan LSM juga meningkatkan kerja sama melakukan pengawasan terhadap bangunan-bangunan baru agar mematuhi persyaratan bangunan tahan gempa. Prioritas juga dilakukan. Bangunan-bangunan seperti rumah sakit dan sekolah diawasi dengan ketat pembangunannya, dan diterapkan standar bangunan yang paling tahan gempa. Keputusan itu tidak salah, karena tempat-tempat tersebut akan berfungsi sebagai tempat merawat korban gempa dan tempat pengungsian, apabila terjadi gempa. Dan sekolah, adalah tempat anak-anak, generasi muda belajar. Mengamankan mereka, berarti mengamankan masa depan.

“ Bangunan-bangunan yang paling tahan gempa adalah rumah sakit dan sekolah, karena gedung tersebut untuk merawat korban gempa dan tempat pengungsian apabila terjadi gempa”, kata Kojiro Shiojiri.

DIY memang belum punya pengalaman menangani gempa 8 SR seperti yang terjadi di Kobe, Jepang, 10 tahun lalu. Pengakuan itu juga disampaikan Sultan kepada tamunya. Didorong keinginan kuat untuk melindungi warga masyarakat DIY dari dampak gempa, Sultan pun menyatakan ingin mengetahui lebih jauh bentuk-bentuk dan rumusan kebijakan yang diambil Jepang, baik di tingkat Pemerintah Pusat, Provinsi atau Kabupaten.

Sultan menginginkan ada kerjasama dengan JICA untuk mengirim tenaga ahli ke Indonesia, untuk memberikan informasi kebijakan yang ditetapkan, bentuk institusi, serta standardisasi yang ditetapkan untuk mengantisipasi gempa. Menurut Sultan, konsultan arsitek punya peran penting dalam merancang bangunan agar memenuhi standar tahan gempa. Untuk itu diperlukan ketentuan rinci, misalnya konstruksi bagaimana, materialnya seperti apa, sehingga Pemerintah bisa mengontrol. Masih seputar arsitektur bangunan tahan gempa, kepada Kojiro Shiojiri, Sultan mempertanyakan kemungkinan JICA bisa membantu mengkaji bangunan berasitektur Jawa, namun mempunyai konstruksi yang tidak membahayakan bagi penghuninya apabila terjadi gempa.

“ Bagaimana konsultan arsitektur dalam membuat rancangan bangunan bisa penuhi standar tahan gempa. Materialnya apa, kita bisa kontrol. Kami belum punya pengalaman”, kata Sultan.

Di tengah pembicaraan, Sultan juga mengungkapkan harapannya untuk menemukan material yang lebih kuat dan lebih baik sehingga bangunan rumah tidak membahayakan penghuninya dan tahan gempa. Beberapa kemungkinan disampaikan. Atap, misalnya, penggunaan genteng seperti yang selama ini dilakukan, mempunyai beban yang berat. Perlu dicari alteratif atap yang ringan, tidak memberatkan bangunan rumah, sehingga lebih aman. Di sisi lain penggunaan konstruksi aluminium yang lebih ringan, seperti banyak digunakan oleh lembaga donor dalam rehabilitas dan rekonstruksi, masih perlu diteliti kekuatannya bila gempa terjadi.

” Kalau terjadi gempa patah atau tidak, membahayakan penghuninya tidak ?”, ungkap Sultan.

Banyak ide dikemukakan Sultan, yang perlu ditindaklanjuti dengan penelitian. Misalnya penelitian untuk menemukan bahan untuk dinding, seperti partikel board, yang ringan tapi kuat, tahan hujan dan panas, serta tidak berbahaya bagi penghuni. Begitu pula material pengganti batu bata, mungkin dari ampas tebu, abu, atau bahan lainnya, sehingga menjadi material yang ringan namun kuat.

Sultan juga mengemukakan peran yang diharapkan dari Pusat Informasi Bangunan dan Gempa yang sedang dibangun. Institusi ini diharapkan bisa menampilkan produk-produk material bahan bangunan yang tahan gempa, sehingga masyarakat bisa memilih alternatif bahan yang tahan gempa namun terjangkau dari segi pembiayaan.

Apresiasi Kaisar Jepang

“ Kaisar Jepang sangat menghargai upaya Sultan dalam penanganan gempa Jogja, dan kami juga melaporkan ke Kaisar bahwa sekarang kondisinya sudah pulih”, kata Kojiro Shiojiri kepada Sultan. Apresisasi tersebut nenunjukkan perhatian Jepang terhadap penanganan gempa DIY.

Pada saat itu Jepang memberikan banyak bantuan ke DIY. Tidak saja berupa bahan-bahan kebutuhan masyarakat, namun juga mendirikan Rumah Sakit untuk merawat korban gempa.

Dubes Jepang rupanya juga mengkuti kegiatan Sultan membantu korban gempa di Sumatera Barat, dan dalam kesempatan bertemu Sultan menyampaikan rasa terharunya dengan kegiatan Sultan di Sumatera Barat.

Pemerintah Jepang mendukung kalau Yogyakarta akan menjadi Pusat Studi Gempa di Indonesia. Proses kearah itu terus diupayakan. Misalnya, beberapa tenaga ahli Jepang berada di Yogyakarta untuk mempelajari gempa DIY , 3 tahun lalu, tepatnya 27 Mei 2006, dan berbagai dampak yang ditimbulkannya.

No comments: