Tuesday, June 3, 2008

Pancasila dan Kekerasan Agama Kompas Selasa, 3 Juni 2008 | 00:36 WIB

Oleh Victor Rembeth

Peringatan lahirnya Pancasila tahun 2008 dinodai dengan pengingkaran terhadap makna hakiki ideologi berbangsa yang inklusif ini. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.

Kekerasan telah menjadi satu-satunya alat untuk menghapus dan meniadakan orang lain yang berbeda. Agama yang menjadi semangat pemersatu dalam sila awal Pancasila justru dipakai untuk memorakporandakan kebersamaan yang harusnya menjadi berkat bagi seluruh bangsa ini.

Gejala antieksistensi di antara berbagai kelompok yang hidup bersama dalam sebuah negara bangsa telah menunjukkan wajahnya yang akut. Kenyataan ko- eksistensi plural telah sampai kepada titik yang mengkhawatirkan. Agama telanjur digiring ke dalam sebuah wacana antieksistensial. Manifestasinya adalah sifat curiga dan sektarian yang telah mulai melembaga dalam kehidupan keberagaman kita.

Tribalisme primitif

Dalam memberi makna Pancasila, tantangan yang sangat dirasakan adalah bagaimana kita mampu memberi makna untuk apa yang disebut sebagai religious otherness. Dengan belajar dari sejarah berdarah agama-agama yang penuh dengan eliminasi dan percaturan menang kalah, seharusnya ideologi Pancasila mampu memberi warna baru untuk sebuah relasi antaragama yang berbasis kekuatan sipil masyarakat. Tantangan hidup beragama pada abad ini sangat nyata. Rabbi Jonathan Sacks mengatakan bahwa ”ketika pada abad ke-20 didominasi oleh politik ideologi, maka abad ke-21 akan didominasi oleh politik identitas”.

Sikap kekerasan agama sebetulnya mengembalikan manusia kepada sebuah renaisans tribal- isme yang primitif. Sikap agama yang bisa dipotret dari kebenaran tribalisme ini adalah ”suku saya melawan suku kamu, dan tuhan- ku melawan tuhan kamu”. Th Sumartana pernah menyoroti keberlainan agama yang diakibatkan oleh sikap tribalisme ini sebagai sebuah tatanan dunia yang ”cukup untuk diri sendiri”.

Dunia tribal adalah dunia yang tertutup, dunia seluas pandang lahan kehidupan, air, tanah, gunung, sawah, lading hutan, dan agama serta tuhan yang terbatas membuat masyarakat juga tak mampu menghargai pengalaman spiritual yang lain. Tantangan ini menyebabkan kemunduran agama dalam memandang realitas kebersamaan yang plural.

Sebuah percaturan menang kalah akan dengan mudah disusupi oleh semangat sektarian akut. Agama yang sering dinobatkan sebagai kekuatan antimasyarakat sipil mendapat bukti pembenaran. Penggunaan agama yang dipertentangkan satu dengan yang lain untuk kepentingan politis negara dan pasar menjadi begitu sangat nyata dalam relasi perebutan posisi ruang publik. Dalam kondisi problematik pendefinisian peran agama dalam masyarakat sipil ini, kepentingan negara dan pasar menjadi begitu mudah mengambil celah untuk berjaya.

Ketika negara masuk mengooptasi agama, seperti yang dipertunjukkan secara kasatmata selama masa rezim Orde Baru, kekuatan agama-agama pun dimatikan secara perlahan dan kemampuan menghadirkan kekuatan masyarakat sipil menjadi lemah. Agama-agama sekadar menjadi stempel kebijakan negara untuk berbagai kepentingan, mulai dari program KB sampai kepada penggunaan restu politik bagi kebertahanan sebuah rezim.

Dominasi pasar juga mampu menuai keuntungan dari keterbelahan yang ada. Berbagai media berbasis agama menjadi marak dan tak jarang mengorbankan konsepsi kebersamaan dan semangat keindonesiaan yang bhinneka tetapi tetap eka. Oleh karena itu, kaum kapitalis menjadi bersanding dengan agama ketika diuntungkan dengan program SMS rohani melalui telepon seluler ataupun pengumpulan massa yang bertajuk siraman dan pembinaan rohani. Komunitas agama dibanjiri dengan berbagai pemetaan identitas yang berujung kepada komodifikasi agama-agama untuk kepentingan pasar.

Realitas koeksistensi masyarakat yang menjadi cita-cita awal lahirnya negara bangsa Indonesia idealnya bisa dengan manis menghadirkan relasi kebersamaan. Namun, realitas keterlibatan negara dalam politik identitas menjadikan sebuah relasi baru dalam masyarakat yang berbasis antaragama harus bisa kembali diretas. Koeksistensi sebagai keniscayaan bisa dengan mudah menjadikan sekelompok manusia hanya sebagai peran pembantu dalam sebuah hegemoni kelompok mayoritas.

Proeksistensial

Relasi baru yang secara cerdas dilahirkan oleh ideologi Pancasila dalam negara bangsa yang majemuk ini adalah keinginan mengenal orang lain lebih dalam lagi dan apa adanya. Konsekuensinya, sebuah spiritualitas hakiki yang bersifat proeksistensial harus terus diremajakan dalam kehidupan berbagai kelompok agama.

Kendati berbagai luka telah memecah belah dan mengakibatkan kerusakan cukup parah dalam hubungan kelompok antariman, masih banyak problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dan pengangguran, yang bisa mempersatukan warga sebangsa.

Dengan spiritualitas yang pro- eksistensial, sesama warga sebangsa akan mau membagi dan berbagi. Proesksistensi antaragama adalah modal untuk menghadirkan sebuah masyarakat sipil yang bermartabat. Bila demikian adanya, cita-cita Pancasila bukanlah pepesan kosong, melainkan semangat yang masih diperlukan dalam upaya nation building yang mengutuk segala macam kekerasan.

Victor Rembeth Pendeta, Alumnus Program IRB Universitas Sanata Dharma

No comments: