Friday, October 8, 2010

DUA KALI KE JOGJA, DUBES PERANCIS PIERRE ALAIN MIGNON KEMBANGKAN HUBUNGAN PARIWISATA-BUDAYA-EKONOMI

”Jogja terkenal di Perancis. Peran Sultan sebagai tokoh politik dan budaya, saya kagum secara personal kepada Sultan”, kata Dubes Perancis Pierre Alain Mignon mengawali diskusi hangat di Gedhong Wilis, Kamis (22/7/2010).

Sudah dua kali Dubes Perancis Pierre Alain Mignon menemui Gubernur DIY Hamengku Buwono X di Kepatihan, Yogyakarta. Kedatangannya kali itu, juga untuk menghadiri HUT ke-35 Lembaga Indonesia Perancis (LIP) dan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan pariwisata Perancis - DIY.

Kunjungannya difasilitasi oleh Garuda Indonesia, melalui program kunjungan ke beberapa provinsi, termasuk DIY. Garuda baru saja menandatangani kontrak pengadaan 10 buah pesawat Air Bus, yang diproduksi di Perancis. Program tersebut, kata Pierre Alain Mignon, merupakan cara yang bagus untuk mempromosikan pariwisata Jogja, dan untuk menjaga hubungan baik yang telah terjalin selama ini.

Sebelum menemui Sultan, Pierre Alain Mignon sudah mengunjungi Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata AMPTA, Kraton, menyaksikan tarian tradisional Yogya.

Kepada tamunya, Sultan berharap agar LIP dapat meningkatkan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi DIY. Paling sedikit, harap Sultan, bagaimana masyarakat Jogja bisa mendapatkan informasi yang lebih luas tentang Perancis, termasuk mensosialisasikan kepada mahasiswa yang ingin belajar di Perancis.

Sultan juga mengharapkan LIP dapat memberikan informasi, melalui film-film ilmu pengetahuan, modernisasi alat-alat tehnologi pertanian di Perancis. ”Tujuannya untuk membuka dialog dengan masyarakat tentang perkembangan teknologi dan mendorong sektor tersebut mewujudkan modernisasi”, jelas Sultan.

UNDANG PENGUSAHA INDONESIA PAMERAN DI PERANCIS

Sebagai Dubes Eropa untuk Indonesia, Pierre Alain Mignon ditugasi untuk mempererat kualitas hubungan Eropa-Indonesia. Untuk meningkatkan kerjasama ekonomi, maka dalam kunjungannya Duber Perancis Pierre Alain Mignon, juga mengajak Ketua KADIN Perancis untuk Indonesia M. Philipe Zeller.

Philipe Zeller mengemukakan bahwa ia mempunyai tugas untuk menjelaskan perkembangan ekonomi Perancis di Indonesia. Ia juga mempromosikan pariwisata dan peran Perancis sebagai pintu masuk ke Eropa. Philipe Zeller mengatakan sudah mengunjungi dan mengadakan dialog dengan Gubernur di beberapa provinsi, untuk melihat potensi yang dapat dikembangkan bersama dengan Perancis.

Dalam kesempatan itu ia mengundang DIY untuk ikut serta dalam Pameran Tunggal Indonesia di Perancis pada April 2011.

”Melalui pameran tersebut dimaksudkan agar orang Perancis bisa lihat produk komoditas Indonesia. Supaya image berubah, dan banyak investasi Perancis di sini”, ungkap Philipe Zeller.

Sultan menyambut baik tawaran KADIN Perancis untuk meningkatkan kerjasama investasi dengan DIY. Untuk itu dipersilahkan untuk membicarakan hal tersebut lebih detail dengan instansi teknis.

” Kalau ada pengusaha Perancis bisa investasi di DIY, kami bisa fasilitasi. Infrastruktur, IT tidak masalah. Di sini kondisinya relatif aman, tidak ada instabilitas atau demontrasi buruh”, jelas Sultan. Sultan juga menjelaskan pembangunan Inlad Port untuk mempermudah ekspor impor dari Yogya. Walaupun harus melalui Semarang, namun diusahakan ada kemudahan, sehingga pengurusan ekspor dapat diselesaikan di Yogya, tidak perlu sampai Semarang.

TIM MEDIS PERANCIS, TERAKHIR TINGGALKAN JOGJA

Kepada tamunya, Sultan yang pernah tinggal selama 2 minggu di Rivera, Perancis, ketika pada acara Festival Film Cannes, secara khusus juga menyampaikan terima kasih atas bantuan Perancis selama penanganan gempa di DIY 4 tahun yang lalu. Termasuk bantuan Crisis Center yang akan diresmikan pada Oktober 2010 nanti.

”Perancis telah membangun tempat pengobatan di Alun-alun Utara. Dan Tim Kesehatan Perancis tersebut yang terakhir meninggalkan Jogja”, kata Sultan.

Masih terkait dengan penanganan gempa, Sultan mengucapkan terima kasih atas bantuan Crisis Center yang direncanakan akan diresmikan operasionalnya pada bulan Oktober 2010. Lembaga yang didukung dengan peralatan canggih tersebut, berfungsi melaksanakan pengendalian secara terpadu dalam pencegahan dan penanganan bencana di Provinsi DIY.

Bale Woro, Agustus 2010

Biarpun Bergelar Sayidin Panatagama Khalifatullah, Sultan Tetap Pluralis

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mjendapat kehormatan kunjungan Peserta Mancanegara PPRA XLV Lemhanas RI adakan kunjungan ke Provinsi DIY. Rombongan dipimpin oleh Prof. Dr. Sudaryono, SU dan terdiri dari Laksma AL Dato Pahlawan Syed Zahiruddin Bin Syed Osman (Malaysia), Brigjen AD Hussein Rashed Awwad Alabbass (Yordania), Kolonel Udara Hamsani Bin Abdul Hamid (Brunei Darusalam), Kolonel AD Bouzid Djamel (Aljazair), serta Kolonel AD Seangaroon Amomthawonsakul (Thailand).

Dalam perftemuan di Gedhong Wilis, Selasa (28/9/2010), tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan berbagai hal terkait dengan budaya, tradisi dan filosofi. Baik ditinjau dari sosial budaya maupun kepemimpinan. Mereka memang ingin mengenal lebih dekat budaya lokal ke DIY, serta memperoleh gambaran tentang potensi sosial budaya DIY dalam peningkatan hubungan sosial budaya antar warga Negara, maupun antar Negara, serta memperoleh manfaat dari obyek-obyek yang dikunjungi.

Sultan mengawali uraiannya dengan menjelaskan proses perkembangan peradaban di Yogyakarta, dimana Dinasti Mataram mengalami 4 periode sejarah yaitu pertama, Mataram Kuno pada abad 7 yang menghasilkan Borobudur sebagai symbol peradaban Budhis; kedua, Mataram Hindu, abad 9 yang menghasilkan Candi Prambanan sebagai peradaban Hindu; ketiga, Mataram Islam, awal 14 akhir,diawali dengan berakhirnya kejayaan Kerajaan Majapahit, hingga kemudian kerajaan berpindah ke Demak, dan akhirnya ada di Surakarta dan Yogyakarta.

“ Pada waktu bangun Yogya, Hamengku Buwono I menggunakan planologi kota dengan filosofi yang tetap dipegang teguh hingga kini”, ungkap Sultan.

HB I menciptakan poros (sumbu) filosofi Gunung Merapi – Tugu Pal Putih (Tugu Golong-Gilig) – Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan. Poros Kraton – Tugu Pal Putih - Merapi, lanjut Sultan, secara simbolis melambangkan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablunmin Allah). Sedang Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan melambangkan hubungan manusia dengan manusia (Hablun min Annas).

Atas dasar filosofi itu, maka Sultan yang bertahta mempunyai kewajiban menghantarkan setiap orang atau umat, dilambangkan Kraton ke Utara, agar mencapai keimanan dan ketaqwaan. Sedang Kraton ke Selatan melambangkan bahwa rakyat dan pemimpin harus menjadi satu, atau Manunggaling Kawula Gusti.

“Kalau umat tidak taqwa, berarti hanya berhenti sampai Pasar Beringharjo, simbol aspirasi manusia yang mementingkan kehidupan duniawi. Atau hanya sampai di Kepatihan, yang melambangkan aspek duniawi, atau kekuasaan”, tandas Sultan.

“Sedang Kraton ke Selatan, melambangkan rakyat dan pemimpin jadi satu. Apa artinya rakyat, kalau tidak ada pemimpin. Apa artinya pemimpin kalau tanpa rakyat. Sehingga Sultan harus bicara benar, berbuat benar dan berpikir benar”, ungkap Sultan.

Terus Dorong Dialog Antar Agama

Berkaitan dengan gelar yang dimiliki, Sayidin Pantagama Khalifatullah, Sultan mengatakan, biarpun bergelar Islami, Sultan tetap memegang teguh pluralitas, tidak membedakan suku, agama atau ras.

Prinsip tersebut yang terus membuat Sultan mendorong terjadinya dialog antar agama di Yogyakarta. Dalam konteks pemerintahan, rekruitmen dan penempatan pejabat juga tidak membedakan latar belakang etnis dan agama. Pemuka masyarakat dan tokoh agama di Yogyakarta juga berasal dari berbagai latar belakang agama dan etnis.

“Dialog antar peradaban, di Yogya, dialog interfaith menjadi kekuatan yang sangat signifikan”, tandas Sultan.

Berbagai agenda dialog antar agama terus diselenggarakan di Yogyakarta. Misalnya dialog Tim Akademis dengan Jerman membahas pluralitas agama. Dalam waktu dekat Yogyakarta juga akan menerima Tim Dialog Antar Agama dari Italia dan Spanyol.

Filosofi Hamemayu Hayuning Bawono

Berkaitan dengan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana, Sultan menyampaikan, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Sehingga punya kewajiban mengagungkan asma Allah. Untuk itu manusia harus bisa bersatu dengan alam.

“ Karena bumi memberi harapan manusia untuk hidup, bukan untuk dikuasai demi kemakmuran manusia”, tandas Sultan.

Berkaitan dengan itu ada 3 kriteria yang harus diperhatikan, yaitu pertama, keselamatan dunia – alam akan tetap utuh kalau didasari keraifan manusia; kedua, sifat-sifat keutamaan manusia – disiplin, kejujuran, profesionalisme, integritas - yang memungkinkan tetap utuhnya bangsa dan negara; dan ketiga, keselamatan manusia hanya dimungkinkan oleh karena rasa kemanusiaannya.

“Dari 3 hal itu, setiap manusia berpegang pada 2 rasa, yaitu rasa kemanusiaan dan rasa ketuhanan”, ungkap Sultan.

Dan berkaitan dengan masyarakat, lanjut Sultan, maka yang harus dibangun ada 2 hal yaitu dibangun kebersamaan – dimana gotong royong jadi kekuatan, dan disiplin jadi motivasi masyarakat, baik yang termasuk golongan miskin, menengah atau kaya, agar membangun kebersamaan, tanpa sekat sehingga potensi bisa ditumbuhkan, tanpa timbul kecemburuan.

“Pengalaman gempa bumi 2006 menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut, kearifan lokal tersebut, masih terus terpelihara dan menjadi kekuatan masyarakat”, ungkap Sultan sambil menjelaskan bahwa karena gotong royong dan kebersamaan, maka dalam waktu 2 tahun masyarakat bisa menyelesaikan pembangunan 170 ribu rumah.

Dalam kesempatan itu Sultan juga menyampaikan tema yang diangkat ketika memotivasi masyarakat untuk bangkit kembali setelah terkena gempa, yaitu “ Kehilangan harta benda, sama dengan tidak kehilangan apapun. Kehilangan nyawa sama dengan kehilangan setengah, dan kehilangan martabat seseorang,sama dengan kehilangan segalanya”.

Tema tersebut ternyata menjadi kekuatan, tidak saja untuk bangkit dari keterpurukan akibat gempa, namun juga untuk membangun integritas masyarakat. Selain itu karena aspek spiritualitas masih dipelihara oleh masyarakat Yogya, sehingga pembangunan paska gempa berjalan dengan aman, dan di Yogya juga tidak terjadi konflik antar agama atau antar etnis.

“Hal tersebut sangat penting dalam pembangunan masyarakat, sehingga Yogya tetap punya identitas”, ujar Sultan.

Modernisasi vs Westernisasi, Perlunya Rekayasa Sosial

Pemimpin mempunyai kewajiban untuk men-engeneering masyarakat agar tidak terjadi bias antara modernisasi dan westernisasi.

“Misalnya, Mac-Donald, Kentucky Fried Chicken, sering diidentikan dengan modernisasi, padahal sebenarnya merupakan produk food westernisasi”, kata Sultan.

Modernisasi adalah bagaimana masayarakat berubah dari berbagai ciri-ciri kultur agraris, seperti pasif, tunggu perintah, kurang inisiatif, agar mengalamai transformasi yang sesuai dengan tuntutan era industri, seperti masyarakat yan g aktif, kreatif, efisien, tidak tunggu perintah, dst.

“Tugas pemimpin adalah bagaimana bisa merekayasa masyarakat, untuk secara bertahap melakukan perubahan sosial”, tandas Sultan.

Sultan memberi contoh tentang kondisi petani di DIY yang tanahnya relatif sempit. Dengan kondisi tersebut petani tidak akan sejahtera tanpa memberi value teknologi dalam usaha pertaniannya, agar produktifitas meningkat dan bisa kompetitif. Untuk itu diperkenalkan benih unggul dan alat pertanian modern. Dalam konteks itu diperlukan perubahan perilaku, atau transformasi agar petani memiliki kesejahteraan yang lebih baik.

Contoh lain, menurut Sultan, petani menanam pohon ubi. Kalau bicara industrialisasi, maka ubi akan diolah menjadi tepung untuk roti. Konsekuensinya, dalam menaman ubi tidak lagi bisa kapan saja, namun harus terjadwal dan tepat waktu karena harus memenuhi kebutuhan industri.

Tanpa dilakukan engeneering, masyarakat tidak bisa mengikuti proses industrialisasi, karena diperlukan persyaratan-persyaratan kualitatif. Tanpa rekayasa, masyarakat tidak akan bisa jadi subyek industrialisasi, namun hanya menjadi obyek industrialisasi.

“Akibatnya akan terjadi kecemburuan sosial, serta timbul ketidak percayaan masyarakat terhadap proses yang ada”, tandas Sultan. Untuk itu pemimpin harus sering melakukan dialog dengan masyarakat untuk mendorong transformasi budaya.

Implementasi di Lingkungan Pemerintah Daerah

Filosofi tersebut juga harus diaplikasikan di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY dalam membangun masa depan Yogya, termasuk dalam proses pembangunan manusia Yogya masa depan. Harus dibangun budaya birokrasi yang berorientasi kepada kualitas pelayanan kepada publik.

“Birokrat harus bangga bekerja menjadi pegawai dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. PNS harus mempunyai rasa disiplin, kejujuran, inovasi, integritas, dan seterusnya. PNS harus menjadi abdi masyarakat, bukan penguasa”, tegas Sultan.

Dalam konteks APBD, maka penggunaan anggaran harus memberi manfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat mendapatkan manfaat dalam pengelolaan APBD.

Bale Woro, September 2010