Friday, May 30, 2008

Orasi Budaya Sri Sultan Hamengku Buwono X

Berikut ini Orasi Budaya yang dsisampaikan Sri Sultan Ham,engku Buwono X pada Puncak Peringatan Hari Ulang Tahun I PUJASUMA dengan judul “ Bhineka Tunggal Ika Sebagai Strategi Membangun Keindonesiaan”, di Palembang 10 November 2007.


LATAR BELAKANG

HARI ini, 10 November 2007, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Ke-62. Untuk itu, ada baiknya jika kita mengingat kembali mutiara kata Bung Karno tentang Pahlawan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai pahlawannya”. Pesan itu saat sekarang ini menjadi lebih bermakna daripada peringatan pada tahun-tahun sebelumnya. Karena kemerdekaan Indonesia yang kita rebut atas jasa perjuangan para pahlawan itu, kini tengah menghadapi ancaman disintegrasi bangsa justru dari kita sendiri.

Untuk itu, ada baiknya pula jika kita juga mau mengingat sejarah perjuangan bangsa, yang sesungguhnya dilakukan oleh seluruh elemen bangsa. Dalam hal sejarah itu, Bung Karno selalu mengajarkan kepada kita: “Belajarlah dari Sejarah”. Karena bangsa yang lupa akan sejarahnya, adalah bangsa yang hilang, dan rakyat yang tanpa masa lalu adalah rakyat yang tiada memiliki lagi jiwa semangat perjuangan. Belajar dari sejarah, bukan berarti untuk hidup di masa lalu, tetapi guna memetik hikmah dari pelajaran sejarah. Sebab, bila tidak belajar dari sejarah, kita harus mengulangi “pelajaran yang sama”, bahkan mungkin, harus memulainya dari awal.

Dari sejarah akan kita temukan, bahwa budaya Nusantara memiliki pondasi peradaban yang tinggi di masa kerajaan-kerajaan besar Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Demak, Mataram, Tarumanegara, Pajajaran, Kutai, Melayu, Samudra Pasai dan lain-lain.

Lalu apa yang bisa dipelajari dari sejarah Sriwijaya melalui jejak-jejak peninggalannya? Kebesaran Sriwijaya justru bisa dilacak dari keberadaan Borobudur. Konon, pada periode 750-850 Masehi Wangsa Syailendra dari Sriwijaya berkuasa di Mataram Kuna, yang bersama-sama Wangsa Sanjaya dan masyarakat Jawa membangun mahakarya Borobudur.
Sebagai negara maritim yang berbasis budaya tepian sungai yang tidak menetap di satu tempat dalam jangka waktu yang lama, Sriwijaya diduga tidak meninggalkan candi-candi seperti yang ada di Jawa [1]. Meski demikian, tidak berarti peradaban Sriwijaya tertinggal dari kerajaan-kerajaan di Jawa.

Buktinya, yang terungkap dari prasasti Talang Tuo tahun 684 Masehi, menggambarkan keadilan dan penegakan hukum telah diberlakukan di masa Sriwijaya. Prasasti batu tersebut memuat aturan-aturan hukum yang intinya menyatakan bahwa ‘hukum berlaku sama’, bahwa siapa pun tidak ada yang kebal hukum. Dalam prasasti ini terdapat pula sumpah jabatan yang memiliki konsekuensi hukuman bagi pejabat, bahkan raja sekali pun, jika melanggar sumpah [2].

Jejak-jejak sejarah itu membuktikan bahwa peradaban Sriwijaya dan Mataram lebih dari seribu tahun yang lampau sudah sangat maju. Kala itu nenek-moyang kita telah mengenal berbagai ilmu yang menggunakan perhitungan yang rumit dan cermat. Pembangunan Borobudur yang menggunakan batu-batuan berton-ton, tentu membutuhkan kecermatan hitung, ketelitian pikir dan manajemen massal serta penuh dengan landasan filosofis.

Namun penjajahan telah dengan sistematik menghilangkan ”ingatan kolektif” kita akan asal-usul peradaban itu. Dengan sengaja kita dipecah-belah, agar tidak bisa bersatu sebagai sebuah bangsa. Sejak itulah hingga kini, kita menjadi bangsa yang kehilangan karakter dan jatidiri aselinya yang pernah menjadi ‘perekat’ Nusantara dan semangat keIndonesiaan kita.


PERSENTUHAN BUDAYA

PALEMBANG, letaknya berada di persimpangan kebudayaan dan interaksi beragam manusia. Saudagar China, Eropa, Arab dan India adalah pengunjung rutin Palembang sebagai bandar perdagangan yang strategis dan aktif mengembangkan hubungan dagang ke Persia, China, India dan Jawa. Armada Sriwijaya telah melayari jalur perdagangan dari Teluk Parsi hingga ke China. Kekuatan maritimnya dapat dilacak dari peninggalan kemudi kapal yang ditemukan di Sungai Buah tahun 1960-an, yang diduga digunakan untuk mengemudikan kapal besar guna mengarungi samudra.

Pengembara China, I Tsing, datang ke Sriwijaya pada tahun 672 Masehi mencatat, Sriwijaya saat itu telah menjadi kota dagang, kota pelajar, dengan penduduk dan raja beragama Buddha. Sarjana China itu sempat tinggal tujuh tahun di bumi Swarnadwipa dan sempat belajar bahasa Sanskerta. Pada tahun 700 Masehi, Sriwijaya telah menjadi pusat pengembangan agama Buddha dan ilmu pengetahuan. Bahkan pendeta Buddha yang ingin ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Palembang.

Sejarah menunjukkan, proses integrasi berbagai budaya dan bangsa adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara, mereka bisa hidup bertetangga, saling menghormati. Sriwijaya saat itu terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang agama, suku dan warna kulit. Islam yang kemudian menjadi agama mayoritas tidak pernah membuat takut pihak luar dan kelompok minoritas. Islam tidak pernah menjadi hambatan bagi pergaulan dengan berbagai bangsa dan suku, juga tidak pernah memaksakan agama. Hasilnya adalah Islam yang inklusif dan tidak beraliran keras.

Setiap budaya punya sisi baik dan buruknya. Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai perpaduan baru adalah cara yang bijak, daripada menolaknya semena-mena. Terhadap budaya orang dan diri sendiri, sikap yang baik adalah tidak merasa rendah diri, tetapi juga tidak terlalu sempit dalam membanggakan budaya sendiri. Beranilah belajar dari budaya orang lain dan budaya sendiri. Kita bisa belajar banyak hal positif dari keberagaman manusia, agama, dan suku bangsa, yang bisa dilakukan lewat Dialog Budaya antaretnik.


BHINNEKA TUNGGAL-IKA SEBAGAI STRATEGI

DI MASA Majapahit ketika itu hidup seorang pujangga, Mpu Tantular, yang menulis Kakawin Sutasoma dengan kalimat saktinya: “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” –biar pun kita berbeda-beda, sesungguhnya kita itu satu, tiada kewajiban mendua. Konsep pluralisme seorang pujangga, di tangan Gadjah Mada, seorang bhayangkara negara, dengan Sumpah Palapa-nya kemudian diterjemahkan menjadi penaklukan wilayah.

Dari visi kita sekarang, Sumpah Palapa itu bertolak-belakang dengan aspirasi bangsa pluralistik, yang pada abad 20 ditegakkan melalui Sumpah Pemuda. Pengalaman mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan (tunggal-ika) yang potensial untuk melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya pluralitas (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia.
Inilah yang lebih menjamin persatuan dan kesatuan serta integrasi nasional dalam rentang waktu jangka panjang yang kukuh dan lestari. Mitos “kesatuan” yang digunakan dalam menata pluralitas (bhinneka tunggal ika), kini tengah menghadapi gugatan sejarah yang menyakitkan. Gugatan itu muncul, karena selain tidak dapat menciptakan keadilan, konsep kesatuan dianggap telah dimanipulasi penguasa, semata untuk melanggengkan kekuasaannya.

Kemajemukan ini seringkali diabaikan dalam wacana politik elite negeri ini. Sekali pun diakui, bahwa Indonesia adalah masyarakat yang berbeda-beda (bhinneka). Tetapi siapa pun diri kita, harus selalu diingat-ingatkan bahwa sesungguhnya kita ini adalah satu (tunggal-ika). Artinya, Bhinneka Tunggal Ika hendaknya tidak hanya dikeramatkan sebagai simbol NKRI saja, tetapi juga diaktualisasikan sebagai semangat dan strategi membangun keIndonesiaan.

Dialog AntarEtnik
Dalam upaya membangun semangat keIndonesiaan itu, dapat dilakukan melalui Dialog Budaya antaretnik [3]. Setiap kelompok budaya hendaknya saling menyapa dan mengenal untuk saling memberi dan menerima.

Misalnya, dari sistem nilai Jawa, etnis Bugis bisa mendewasakan prinsip siri’, agar tidak terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan, tapi menjangkau hal-hal yang lebih besar artinya bagi bangsa. Dari etnis Minang, orang Bugis dapat belajar tentang prinsip musyawarah, karena mereka terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, pantang berubah, sebab siri’ memerlukan pemenuhan seketika. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis dapat belajar tentang tenggang rasa dan kekuatan di dalam kalbu. Kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makasar dalam penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis tidak suka melebih-lebihkan kata.

Demikian juga, masyarakat etnik yang lain agar belajar dari budaya malu (al-haya’) dan berkata yang benar (quli al-haq), dua integritas pribadi Muslim Aceh yang khas [4]. Setiap pejabat publik hendaknya merasa malu jika melakukan kesalahan, dan siap mengundurkan diri dari jabatan, ketika terlibat proses hukum.

Merajut Serat-Serat Budaya
Bhinneka Tunggal Ika hendaknya bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan, yang dituangkan ke dalam kebijakan publik guna membangun keIndonesiaan. Dalam konteks itu, kebijakan dan strategi kebudayaan harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya etnik terjalin dalam “serat-serat budaya” yang saling menguatkan.

Umar Kayam berbicara tentang “serat-serat kebudayaan Nusantara”, yang mengandung konotasi pluralitas yang saling memperkuat, membentuk batang tubuh Kebudayaan Indonesia Baru yang kokoh, laksana sebatang pohon nyiur yang berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar memikul batang, batang menunjang daun dan buah, atau seperti anyaman benang-benang pada tenunan. Hingga kini banyak pakar melihat pluralitas kita tak lebih sebagai “mozaik” yang indah dipandang. Implementasi kebijakan yang dijabarkan melalui strategi itu adalah, bagaimana ragam kekayaan budaya dan adat-istiadat itu dijadikan jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang terikat erat.


CATATAN AKHIR

ALANGKAH besarnya manfaat jika pluralitas budaya dianyam menjadi serat-serat yang saling memperkuat. Dalam kaitan ini kita juga bisa berbicara dalam hubungan Islam-Kristen dan Melayu-Cina. Dengan begitu kita bukan hanya akan hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan hak/kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian.

Kita semua tentu sepakat bahwa Kebudayaan Indonesia Baru adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya dari generasi ke generasi. Dengan kita mampu menerapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai strategi budaya guna membangun keIndonesiaan, tentu setiap etnik akan merasa bangga memiliki negeri yang namanya Indonesia ini.


Palembang, 10 November 2007

KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT,



HAMENGKU BUWONO X
[1] Ilham Khoiri, “Mengais Jejak Kebesaran Sriwijaya”, Kompas, 28 Januari 2005.
[2] H. Tanzil, “Indonesia Jaya-Segemilang Apa pun Masa Lalumu Masa Depanmu Lebih Gemilang”, Book Review karangan Anand Krishna “Bagimu Ibu Pertiwi”.
[3] Adaptasi Mochtar Pabottinggi, “Hak-Hak Individu dan Sosial di Indonesia”, Yayasan Paramadina.
[4] Ameer Hamzah, ”Budaya Malu dan Berkata Benar dalam Masyarakat Aceh”, Serambi Minggu, 12 Desember 2003.